“Nek, Asa ingin belajar membuat mi lidi. Asa ingin membagikannya kepada teman-teman Asa di Jakarta,” kata Asa.
Nenek tersenyum. “Apakah teman-teman Asa sudah tahu apa mi lidi itu?”
“Sudah, Nek. Asa pernah menjelaskan gambaran mi lidi saat pelajaran Matematika.”
“Asa menceritakan tentang mi lidi saat pelajaran Matematika?” tanya nenek heran.
“Iya, Nek. Kami pernah belajar penjumlahan dan pengurangan bilangan puluhan ribu. Ibu guru membuat permainan jual beli. Asa dan teman sekelompok Asa sepakat menjual mi lidi.” Asa menceritakan pengalaman belajarnya penuh semangat.
Nenek lalu berkata, “Asa boleh memperhatikan cara nenek memasak mi lidi. Nanti kamu mencobanya bersama mama di Jakarta, ya.”
“Baik, Nek!” jawab Asa lantang.
“Kecap manis nenek sudah habis. Karena kamu sudah belajar Matematika, nenek minta tolong belikan sebotol kecap manis 135 mililiter ke warung depan, ya,” nenek menyerahkan 1 lembar uang Rp 20.000 kepada Asa.
Warung yang dimaksud nenek berada tepat di depan rumah nenek. Tidak lama, Asa sudah mendapatkan sebotol kecap manis. Penjual warung mengatakan bahwa harganya adalah Rp13.000. Asa menerima uang kembalian dan berbalik menuju rumah nenek. Sambil berjalan, Asa membuka lipatan uang kembalian. Alangkah terkejutnya Asa! Uang kembalian yang ia terima bukan Rp 7.000, melainkan Rp 25.000.
Sempat terpikir oleh Asa untuk menyimpan kelebihan uang kembalian itu. “Nanti aku bisa meminta kelebihannya dari nenek untuk kumasukkan ke dalam celengan, “pikir Asa.
Namun, Asa merasa tidak tenteram. Ia teringat akan pesan gurunya agar bersikap jujur.
“Aku akan mengembalikan kelebihan uang ini karena aku adalah anak yang jujur,” gumam Asa dalam hati.
Setiba di dapur, Asa meletakkan belanjaannya di atas meja dan pergi terburu-buru ke warung.
“Pak, uang kembalian yang Bapak berikan berlebihan. Seharusnya saya menerima Rp 7.000, bukan Rp 25.000.” Asa lalu mengembalikan uang yang tadi sudah diterima ke penjual warung.
Si penjual warung kaget. Ia menerima uang dari Asa, lalu memberikan kembalian yang seharusnya. “Maaf, Bapak tidak teliti. Terima kasih atas kejujuranmu, Nak,” kata penjual warung.
Asa sangat bahagia. Dengan mantap, ia berjalan menuju rumah neneknya. Asa berjanji akan menceritakan kisah kejujuran ini kepada nenek, keluarga, dan teman-temannya di Jakarta.*
Penulis: Deswita Ade Risky
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita