Apakah kamu pernah merasa seolah-olah tidak pantas mendapatkan pencapaian atau pujian yang kamu terima? Jika iya, bisa jadi kamu mengalami impostor syndrome.

Apa itu impostor syndrome? Impostor Syndrome adalah sebuah kondisi yang sering kali dialami oleh mereka yang sebenarnya kompeten, namun merasa dirinya tidak cukup mampu.

Impostor syndrome tak hanya memengaruhi karier atau studi, tetapi juga bisa berdampak buruk pada hubungan sosial.

Dampaknya terhadap hubungan sosial

Sebagian besar orang mengenal impostor syndrome sebagai masalah individu terkait karier atau prestasi akademis. Namun, sisi lain yang jarang dibicarakan adalah bagaimana kondisi ini juga memengaruhi kehidupan sosial.

Mereka yang mengalami impostor syndrome sering kali merasa cemas dalam lingkaran sosialnya. Misalnya, ada perasaan bahwa mereka tidak layak untuk berada di lingkungan pertemanan tertentu atau merasa kurang percaya diri saat berinteraksi dengan orang lain.

Perasaan “tidak cukup baik” ini dapat menyebabkan orang menjadi lebih tertutup. Bahkan kerap kali malah menjaga jarak dengan teman-temannya atau bahkan menghindari situasi sosial di mana mereka takut akan dinilai.

Padahal, hubungan sosial yang sehat penting untuk menjaga keseimbangan mental. Pada akhirnya, impostor syndrome bisa mengisolasi seseorang dari orang-orang di sekitarnya, membuat mereka merasa sendirian dalam keraguan diri yang terus mengganggu.

Impostor syndrome tidak sama dengan perfeksionisme

Salah satu hal yang sering membingungkan banyak orang adalah kaitan antara sindrom impostor dan perfeksionisme. Berdasarkan Bloomsbury Institute London, meskipun keduanya tampak mirip karena sama-sama berhubungan dengan tuntutan tinggi terhadap diri sendiri, sebenarnya ada perbedaan mendasar.

Perfeksionisme lebih menitikberatkan pada keinginan untuk mencapai hasil yang sempurna, sedangkan impostor syndrome berfokus pada perasaan tidak layak atau ketakutan bahwa kesuksesan kita semata-mata karena keberuntungan, bukan karena kemampuan.

Orang dengan impostor syndrome bisa saja seorang perfeksionis, namun bukan berarti semua perfeksionis mengalaminya. Perfeksionisme dapat memperkuat sindrom ini, karena seseorang terus merasa harus mencapai standar yang tak realistis.

Ketika tidak bisa mencapainya, perasaan bersalah dan keraguan diri semakin besar. Namun, di sisi lain, sindrom impostor ini juga bisa terjadi pada mereka yang tidak terlalu perfeksionis, melainkan lebih fokus pada ketakutan akan diungkapnya “kekurangan” mereka oleh orang lain.

Baca juga: Cara Mudah Mengatasi Sindrom Pascalibur pada Anak

Gejala impostor syndrome pada generasi muda

Impostor syndrome kini semakin sering ditemukan pada generasi muda, terutama mereka yang tumbuh di era digital dan media sosial. Hal ini bisa dipahami karena media sosial sering kali menampilkan kehidupan orang lain yang tampak sempurna, tanpa cacat.

Generasi muda yang kerap terpapar konten-konten semacam itu bisa merasa bahwa pencapaian mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan orang lain.

Ada beberapa tanda gejala impostor syndrom yang bisa dikenali pada generasi muda, seperti:

  • Merasa tidak pantas menerima pujian. Ketika penderita mendapatkan apresiasi, mereka cenderung merasa bahwa orang lain terlalu membesar-besarkan atau bahwa itu semua hanya kebetulan.
  • Takut ketahuan “tidak mampu”. Rasa takut yang terus menghantui bahwa suatu saat orang lain akan menyadari bahwa mereka sebenarnya tidak sepintar atau setalenta yang dikira.
  • Mengecilkan pencapaian. Mereka mungkin merasa bahwa apa yang mereka capai bukanlah sesuatu yang layak dirayakan atau diberi penghargaan.

Untuk mengatasi hal ini, penting bagi generasi muda untuk menyadari bahwa setiap orang memiliki perjalanan dan tantangan masing-masing. Pencapaian diri tidak selalu harus dibandingkan dengan orang lain, dan kesuksesan seseorang tidak mengurangi nilai dari kesuksesan yang kita raih.

Selain itu, penting juga untuk terbuka dan berbicara dengan orang-orang terdekat mengenai perasaan ini, agar tidak terperangkap dalam lingkaran keraguan diri yang berbahaya.

Sindrom impostor mungkin sudah sering dibicarakan dalam konteks karier atau prestasi akademis, namun dampaknya terhadap hubungan sosial dan kaitannya dengan perfeksionisme jarang disorot.

Bagi generasi muda, tekanan sosial dari media sosial dan lingkungan sekitar sering kali memperparah kondisi ini. Dengan mengenali gejalanya lebih awal dan belajar untuk lebih menghargai diri sendiri, kita bisa meminimalisir dampak buruk dari impostor syndrome, baik dalam karier maupun kehidupan sosial.