Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memaparkan, hingga 2017, ada 667.484 rumah rusak berat akibat bencana alam. Korban bencana yang kehilangan tempat tinggal biasanya ditampung di fasilitas umum atau tenda besar bersama pengungsi yang lain.
Periode penampungan sementara ini bisa berlangsung antara 6 bulan hingga 1,5 tahun. Bahkan, bisa lebih lama lagi tergantung kondisi korban bencana alam. Pada periode tersebut, kondisi tenda ada yang mulai mengalami kerusakan. Muncul juga permasalahan lain, seperti interaksi sosial dan kesehatan.
Berkaca pada hal tersebut, sudah selayaknya para pengungsi menempati hunian sementara yang lebih layak. Tempat tinggal itu sebaiknya juga mudah dibongkar pasang dan mampu menampung untuk satu keluarga.
Tak perlu jauh-jauh mencari solusi ke luar negeri karena Indonesia memiliki iGLOSS. Berawal dari gagasan Universitas Prasetiya Mulya untuk terlibat aktif dalam bidang kemanusiaan, mahasiswa Prasetiya Mulya memunculkan ide hunian sementara bernama iGLOSS. Ide ini didukung penuh oleh Kedutaan Besar Finlandia melalui program Local Cooperative Fund (LCF).
LCF Coordinator (Indonesia and Timor Lester) Embassy of Finlandia Jakarta Ivan Alidjaja menuturkan, iGLOSS adalah inovasi murni karya anak bangsa Indonesia, mulai dari penggodokan ide sampai ke pembuatan purwarupa.
“Terhitung sudah lebih dari puluhan jam dan banyak pertemuan yang telah kami lewati bersama-sama dalam pengembangan iGLOSS ini. Di atas semua itu, kami juga merasa terhormat untuk dapat mendukung iGLOSS sebesar 51.853 euro,” kata Ivan.
Rumah mini
Bentuknya yang unik—mirip drum—membuat iGLOSS menjadi salah satu solusi hunian sementara multifungsi yang nyaman, ringkas, serta mudah dipindahkan dan didirikan. Konstruksi yang kokoh diharapkan bisa lebih memberikan perasaan aman dan nyaman bagi korban bencana.
Team Leader iGLOSS sekaligus dosen Universitas Prasetiya Mulya Nico Fernando mengatakan, nama iGLOSS terinspirasi dari igloo (iglo) atau rumah suku Inuit di utara Kanada dan Greenland. “Setelah korban bencana mendapatkan penempatan permanen, iGLOOS dapat dibongkar pasang untuk dipindahkan ke daerah lain yang membutuhkan,” imbuhnya.
Hunian ini menggunakan material fiber reinforced honeycomb sebagai dinding yang dikombinasikan dengan rangka besi sebagai struktur dasar. Material ini sekaligus berperan sebagai pemberi beban agar unit tak mudah bergeser akibat tekanan angin.
Nico menambahkan, iGLOOS memiliki desain dengan dua sudut lengkung dan dua sudut lancip. Tujuan utama dari desain itu adalah melewatkan angin sehingga angin tak tertahan dan menjadi tekanan bagi unit.
Dalam satu unit iGLOSS tersusun dari kurang lebih 20 panel, termasuk panel listrik dengan tenaga surya. Setiap panel didesain untuk dapat diangkat oleh 1–2 orang. Ketika diuji coba dengan menggunakan tenaga 4 orang, 1 unit iGLOOS dapat dirakit selama empat jam dan dibongkar dalam waktu 1 jam. Hunian ini dirancang memiliki daya tahan lebih dari 5 tahun.
Saat ini, iGLOOS masih dalam bentuk purwarupa yang menelan dana sekitar 80 juta untuk pembuatan awal termasuk trial dan error. Nilai itu adalah untuk iGLOOS unit standar.
“Angka tersebut tentunya akan berubah menjadi lebih kecil ketika dilakukan produksi massal. Target biaya pada produksi masal adalah di bawah Rp 50 juta per unit. Solar panel menempati sekitar 20 persen dari komponen biaya untuk unit standar,” jelas Nico.
Tipe unit
Saat ini, tersedia 2 tipe unit iGLOOS. Pertama, unit standar berukuran 2,8 x 2,8 x 3 meter dilengkapi dengan 1 modul pintu kaca dengan bingkai alumunium dan 1 modul jendela berkasa nyamuk. Terdapat juga 2 exhaust fan. Unit dilengkapi dengan LED strip untuk penerangan dalam dan luar.
Kedua, unit furnished yang memiliki dimensi dan kelengkapan yang sama dengan unit standar. Bedanya, unit ini dilengkapi dengan meja, 1 tempat tidur lipat ukuran single, 1 laci penyimpanan, 1 toilet mandi dengan shower dan kloset duduk, 1 tangki air bersih, serta 1 tangki air kotor dan pompa. Kedua tipe unit tersebut dapat diperluas dengan penambahan modul 1,2 x 2,8 x 3 meter.
Ivan menuturkan, iGLOSS yang sekarang didesain secara spesifik untuk iklim tropis. Namun, hunian ini bisa saja diaplikasikan di negara empat musim, misalnya, dengan menambahkan modifikasi, seperti insulasi yang lebih tebal untuk menahan suhu yang ekstrem seperti yang ada di Finlandia.
“Rencana terdekat iGLOSS yaitu membuat unit untuk disumbangkan ke BNPB agar bisa digunakan bagi korban bencana. Kami juga sedang membangun mekanisme untuk memasarkan iGLOOS, baik untuk aspek sosial maupun komersial,” tutup Nico. [INO JULIANTO]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 21 Maret 2017