Wisata ke museum? Anda mungkin termasuk orang yang ragu atau malas mengunjungi tempat yang satu ini. Bayangan tempat yang pengap dan membosankan akan segera terlintas dalam benak. Namun, bagaimana jika museum yang Anda kunjungi memiliki interior modern dan berisi rahasia sejarah kelam seperti opium?
Sayangnya, museum ini bukan berada di Indonesia, melainkan di Provinsi Chiang Rai, Thailand. Ya, museum yang bernama House of Opium Museum yang mematok biaya masuk 50 baht (sekitar Rp 1.500) ini memang layak untuk dikunjungi.
Sebagai gambaran, di awal pintu masuk, Anda akan diberikan kartu pos gratis. Awalnya banyak pengunjung yang menyangka kartu pos tersebut hanya kenang-kenangan biasa. Namun, ternyata, Anda dapat memberikan stempel paspor berbagai negara di kartu pos tersebut. Jadi, bisa dikatakan kartu pos tersebut sebagai bukti Anda sudah masuk ke dalam wilayah perdagangan opium di wilayah Golden Triangle ini.
Leher panjang
Sejarah opium sendiri dapat ditelusuri 3400 SM di kebudayaan Mesopotamia. Awalnya, opium digunakan untuk kepentingan pengobatan berbagai macam penyakit. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, opium mulai marak digunakan untuk narkotika. Hal ini membuat opium semakin melejit peredarannya.
Lalu, muncul tiga negara yang terkenal dengan budidaya opium, yaitu Thailand, Laos, dan Myanmar. Saat itu, opium adalah narkotika yang sangat mahal dan dikenal juga dengan sebutan Black Gold. Sebutan ini muncu karena saat itu perdagangan opium dilakukan bukan melalui transaksi uang, melainkan emas. Akibat dari penukaran emas dengan opium di tiga negara ini akhirnya muncul julukan Golden Triangle.
Selain itu, museum ini pun memaparkan beberapa kebudayaan Thailand Utara yang boleh dikatakan terlarang. Salah satunya adalah sejarah suku Karen, atau yang dikenal dengan suku Long Neck (leher panjang). Kono, suku ini masih masih ada hingga sekarang.
Menariknya, di dalam museum terlihat jelas foto-foto suku Karen dan penjelasan tentang asal-usul nama leher yang panjang tersebut. Ternyata, leher suku Karen sebenarnya tak panjang, melainkan bagian bahunya yang turun. Hal ini dikarenakan sedari kecil mereka menggunakan gelang leher yang cukup berat. Konon, gelang leher ini sengaja digunakan atas usul pemimpin suku agar warganya terhindar dari risiko leher digigit binatang buas.
House of Opium Museum bisa menjadi contoh bahwa museum juga layak menjadi pilihan pertama tempat wisata. Ya, semoga saja nasib museum di Indonesia bisa seperti museum di luar negeri. [INO]
Foto dokumen Shutterstock.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 21 Februari 2012