Siapa pun bakal setuju, investasi yang paling menguntungkan saat ini adalah properti. Tak heran semua orang bermimpi bisa memiliki aset berbentuk properti. Namun, sebaiknya Anda berhati-hati membeli properti, terutama yang belum dibangun. Jika tidak cermat, bukannya untung, Anda malah bisa “buntung”.
Beberapa kondisi yang harus dicermati misalnya apakah lokasi rawan bencana atau tanahnya bermasalah alias sengketa. Hal ini kerap tidak dicermati karena segera tergiur ingin memiliki aset properti. Namun, ada satu hal lagi yang bisa membuat Anda rugi, yaitu membeli properti yang belum dibangun.
Beberapa kasus sudah pernah terjadi. Dengan janji manis akan keuntungan sewa atau kenaikan harga yang tinggi, Anda cenderung tutup mata dan ingin segera membeli properti tersebut. Bahkan, ada yang sampai membayar lunas di awal. Kenyataannya, uang Anda dibawa kabur dan properti tidak terbangun.
Bank Indonesia sebenarnya sudah punya cara untuk mengatur pembelian properti inden lewat kredit. Aturan ini tertuang dalam peraturan Bank Indonesia (PBI) No 17/10/PBI/2015. Dalam aturan ini, pengembang diwajibkan memberikan jaminan personal senilai dengan kredit yang dikucurkan bank untuk proses kredit, misalnya mau membangun 100 unit rumah dengan nilai kredit Rp 50 miliar.
Artinya, ada jaminan Rp 50 miliar ke bank. Jadi, saat properti itu jadi, jaminan itu bisa ditarik. Oleh karena itu, pengembang harus menyiapkan dana yang cukup besar untuk berbisnis properti. Lalu, sebagai pembeli apa saja risiko yang bisa terjadi?
Pertama, pembangunan hanya terus dijanjikan dan pada akhirnya molor dan tidak terbangun. Kedua, kalaupun sudah selesai dibangun, ternyata spesifikasi bahan dan desainnya tak sesuai dengan yang ada di brosur atau dijanjikan saat pemasaran. Tentu saja, hal ini tidak hanya berbahaya bagi pembeli, tetapi juga menjadi membuat kerugian. Bangunan yang jelek tentu akan menurunkan nilainya.
Lalu, pembeli harus melakukan apa? Hal pertama, memastikan rekam jejak pengembang. Sebisa mungkin cari pengembang yang sudah punya nama dan proyeknya banyak terlihat. Namun, jika tidak bisa mendapatkan pengembang yang punya nama karena produknya sudah terlalu mahal, sebaiknya tunggu saja saat pembangunan sudah mulai terlihat.
Cara lainnya adalah melakukan perjanjian hitam di atas putih mengenai pembangunan properti. Surat ini pun bisa dimasukkan ke dalam surat perjanjian jual beli sebelum akad. Poin yang ada di dalamnya harus memuat kewajiban pengembang untuk menyelesaikan pembangunan. Konsekuensinya bisa disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya jika bangunan tidak selesai, uang muka atau yang sudah dibayarkan harus kembali sepenuhnya ke pembeli. [VTO]
Foto Shutterstock.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 28 Oktober 2016