Lukisan alam dari Bumi Cendrawasih tak perlu dibantah lagi. Pesonanya menjadi magnet bagi para pelancong domestik dan mancanegara. Namun, keindahan selalu bisa dilihat dari segala sisi. Salah satunya, pemandangan pagi hari saat anak-anak Papua hendak pergi ke sekolah. Mereka tak akan ragu untuk menyunggingkan senyum dan mengucapkan selamat pagi kepada siapa pun yang menyapa.

Meski harus berjalan kaki hingga tiba di sekolah, semangat untuk belajar tampak dari sorot mata para murid. Ini semakin menegaskan bahwa setiap anak Indonesia berhak mempunyai harapan dan masa depan yang lebih baik, di mana pun mereka berada. Pemerintah pun tak melulu sebagai pemain tunggal untuk peduli terhadap dunia pendidikan. Siapa saja bisa terlibat dan bergerak bersama-sama, termasuk para pengajar, masyarakat, hingga keluarga.

Rasa peduli juga diperlihatkan dari sosok Helena Tobing (41). Perempuan lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini mengaku telah jatuh cinta dengan Papua sejak muda. Meski besar di Bandung, hati telah menggerakkannya ke ujung timur Nusantara. Pada 2002, perjalanannya tertambat di Sentani hingga kemudian berpindah dan menetap di pusat kota Jayapura bersama sang suami. Selang 3 tahun kemudian, ia mengajak mahasiswa-mahasiswa setempat untuk membuat kelompok belajar semacam homeschooling selama kurang lebih 5 tahun.

“Kondisi pendidikan di Papua sudah pasti berbeda dengan apa yang ada di Pulau Jawa. Tak lepas pula dari faktor sejarah yang melatarbelakanginya,” ujar Helena yang berprofesi sebagai Head of Principle Papua Kasih ini. Ketika berinteraksi dengan para orangtua yang mengalami era penjajahan, ia belajar memahami bahwa kondisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Ada kesenjangan yang seharusnya tidak terjadi pada masa-masa pasca penjajahan. Akses pendidikan terbilang minim hingga kini, terutama bagi sekolah-sekolah yang berada di kawasan pedalaman.

Ketika memasuki era otonomi, penduduk mengalami culture shock. Pendidikan masih tertinggal, tetapi harus siap mengikuti arus teknologi yang tak bisa dikontrol. Mau tak mau perlu upaya untuk mengejar ketertinggalan yang telah dibiarkan bertahun-tahun.

Rasa cinta Helena terhadap Papua tidak akan pernah berkurang meski tantangan selalu datang kapan saja. Terlebih lagi, pendidikan acap dipandang beragam bagi masyarakat lokal. “Perlu adanya pemahaman terhadap kondisi di depan mata. Tetap bisa fleksibel karena setiap anak memiliki kemampuan berbeda-beda. Selalu ada penyesuaian. Saya yakin, tidak ada anak yang bodoh. Semua tergantung cara membimbing dan mereka,” tuturnya.

Pemahaman adalah bekal yang perlu dilengkapi para pengajar pendatang. Berdasarkan pengalaman sendiri, Helena menganjurkan agar setiap pengajar tetap menjaga kearifan lokal. Terus mendalami lingkungan sosial di tempat tujuan, terlebih lagi adanya pemberlakuan sistem denda yang masih diterapkan masyarakat. Baca pula beragam literatur dan pelajari budaya asal.

“Ketika tiba di tujuan, mata saya semakin terbuka untuk benar-benar melihat apa yang terjadi di lapangan. Idealisme harus dikontrol dan mulai menyelami masyarakat perlahan-lahan. Saya benar-benar belajar menjadi mereka. Kalau kita bisa bergaul, mereka juga akan respek terhadap kita,” tambah Helena.

 

Asrama dan keluarga

Selain melibatkan peran pengajar yang berasal dari daerah lain, beberapa sekolah mulai melakukan pendekatan asrama. Harapannya, apa yang dilakukan di sekolah dapat diteruskan di asrama. Ini sebagai salah satu cara yang dilakukan untuk menyiasati jauhnya jarak sekolah dan tempat tinggal murid. Ditambah lagi, mereka harus menempuhnya dengan berjalan kaki. Waktu belajar tentu akan tersita jika harus kembali ke rumah setiap pulang sekolah. Hambatan lainnya, tidak semua orangtua murid dapat mendampingi sang anak karena kesenjangan tingkat pendidikan.

Keberadaan fasilitas sekolah yang berjarak jauh dengan rumah tinggal adalah gambaran klise yang dialami anak-anak Papua di sejumlah titik. Kondisi ini sangatlah disayangkan. Apabila anak-anak dapat menjangkau sekolah dengan mudah, proses belajar akan semakin lengkap. Orangtua diajak terlibat aktif, bersama-sama menanamkan pemahaman betapa pentingnya pendidikan tanpa harus menerapkan kekerasan.

Dengan melibatkan keluarga, apa yang didapat di sekolah tetap bisa diterapkan dengan cara sederhana. Misalnya, orangtua mengajak buah hati pergi ke pasar sembari mengasah ilmu berhitung yang dipelajari. Bagaimana pun, selalu ada harapan baik untuk pendidikan anak-anak Indonesia, di mana pun mereka berada. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan kepedulian banyak pihak. [GPW]

noted: Harapan Anak Papua Kepedulian Bersama