Oleh dr Mega Dhestiana SpKJ(K) MSc

Alumnus PPDS 2 Psikiatri Anak dan Remaja FK Universitas Indonesia

Salah satu alasan utama pemberian hak suara kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah untuk mewujudkan pemilu yang inklusif. Dalam artian pemilu yang tidak diskriminatif dan menghormati hak-hak dasar setiap warga negara.

ODGJ merupakan bagian dari masyarakat yang sering mengalami stigma, marginalisasi, dan eksklusi sosial. Mereka juga rentan menghadapi pelanggaran hak-hak mereka, seperti kekerasan, penelantaran, dan pengabaian.

Dengan memberikan hak suara kepada ODGJ, diharapkan mereka dapat merasakan penghargaan dan pengakuan sebagai warga negara yang berdaulat. Selain itu, hak suara juga dapat menjadi sarana bagi pasien psikiatri untuk menyuarakan aspirasi, kepentingan, dan kebutuhan mereka melalui perwakilan politik yang dipilihnya.

Selain alasan inklusif, pemberian hak suara kepada orang dengan gangguan jiwa juga didasarkan pada pertimbangan hukum dan kesehatan. Secara hukum, mereka masih memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih, selama tidak ada keterangan dari tenaga medis profesional yang menyatakan bahwa mereka tidak cakap hukum.

Mega Dhestiana

Hal tersebut sesuai dengan Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Kita juga bisa melihat UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas yang pada intinya mengatur hak-hak politik penyandang disabilitas. Hak ini antara lain penyandang disabilitas berhak memilih dan dipilih dalam jabatan publik, menyalurkan aspirasi politik baik lisan maupun tertulis, memilih parpol dan atau individu yang menjadi peserta pemilu, dan berperan secara aktif dalam sistem pemilu pada semua tahap dan atau bagian penyelenggaraan pemilu.

Landasan hukum lainnya bisa merujuk pada UU 17/2023 tentang Kesehatan. Pasal 54 ayat 4 menyebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjamin penyandang disabilitas mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Sementara pasal 76 ayat 3 menegaskan bahwa orang yang berisiko dan ODGJ mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.

Dari sisi kesehatan, ODGJ juga tidak dapat dipukul rata sebagai kelompok yang tidak mampu berpikir rasional dan kritis. Pasien psikiatri memiliki tingkat keparahan, jenis, dan gejala yang berbeda-beda, sehingga tidak semua ODGJ mengalami gangguan kognitif yang berat.

Malahan, ada beberapa pasien psikiatri yang memiliki kemampuan intelektual tinggi. Oleh karena itu, ODGJ tidak dapat dianggap sebagai subyek pasif dan tidak berdaya, tetapi sebagai subyek aktif dan berpotensi.

Di samping itu, kapasitas ODGJ untuk menentukan pilihan tidak ditentukan dengan diagnosis melainkan kemampuan kognitif. Singkatnya, mereka tidak otomatis kehilangan kapasitas untuk menentukan pilihan. Hanya pasien yang mengalami disfungsi kognitif berat sehingga kapasitasnya berkurang atau dinilai tidak memiliki kapasitas.

Secara klinis, untuk menilai apakah seorang ODGJ memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan, setidaknya mampu melakukan 4 hal, yakni mengerti pilihan yang diberikan, mampu menyatakan pilihannya, mempunyai alasan mengapa memilih yang menjadi pilihannya, serta mengetahui konsekuensi dari pilihan tersebut. Kapasitas ini harus diperiksa secara spesifik untuk tujuan atau situasi tertentu.

Yang terpenting saat memberikan hak suara, ODGJ bisa memahami dan mempertanggungjawabkan tindakannya. Bila sedang kambuh atau muncul gangguan daya nilai realita (gangguan waham atau halusinasi), maka ODGJ tidak bisa bertanggung jawab atas tindakannya.

Untuk itu, surat keterangan dari dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) bisa diperlukan untuk menerangkan bahwa OGDJ yang hendak memilih sedang dalam kondisi pulih (remisi) dan tidak ada gangguan daya nilai realita.

Beberapa dampak pemberian hak pilih kepada ODGJ

Meskipun memiliki alasan yang kuat, pemberian hak suara kepada ODGJ juga menimbulkan dampak yang perlu diantisipasi. Salah satunya, potensi manipulasi dan penyalahgunaan hak suara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

ODGJ bisa menjadi sasaran praktik politik uang, intimidasi, dan pengaruh dari keluarga, pengasuh, atau pengampu mereka. Pasien psikiatri juga dapat menjadi korban dari kesalahan administrasi, seperti kesulitan dalam mendapatkan surat keterangan dari rumah sakit, kesalahan dalam pencatatan data, atau ketidaksiapan dalam penyediaan fasilitas dan perlengkapan pemungutan suara.

Dampak lain yang mungkin terjadi adalah konflik dan ketegangan sosial, baik antara ODGJ dengan masyarakat umum, maupun antara ODGJ dengan ODGJ lainnya. Hal ini dapat dipicu oleh perbedaan pilihan politik, pandangan, dan sikap yang dimiliki ODGJ. Pasien psikiatri juga dapat mengalami stres, kecemasan, atau trauma akibat tekanan dan tuntutan yang muncul dari proses pemilu.

Pemberian hak suara kepada ODGJ tentu menjadi langkah progresif dan berani dari negara dalam mendorong pemilu yang inklusif di Indonesia. Namun, langkah ini juga memiliki risiko dan tantangan yang harus dihadapi oleh semua pihak yang terlibat, baik penyelenggara, peserta, maupun pemilih pemilu.

Oleh karena itu, diperlukan kerja sama, koordinasi, dan komitmen yang kuat dari semua elemen bangsa untuk menjamin bahwa hak suara ODGJ dapat disalurkan secara optimal, aman, dan bermartabat. Selain itu, diperlukan juga edukasi, sosialisasi, dan advokasi yang intensif kepada ODGJ dan masyarakat umum tentang pentingnya partisipasi politik ODGJ dalam pemilu.

Dengan demikian, pemilu 2024 diharapkan bisa menjadi pesta demokrasi yang tidak cuma demokratis, tetapi juga humanis.

Baca juga: Hati-hati, Defisiensi Nutrisi Pengaruhi Kesehatan Mental