Selama ini, mainan hanyalah dianggap sebagai bahan hiburan. Mainan hanya dianggap untuk anak kecil atau orang-orang yang tidak punya pekerjaan. Namun, mainan menjadi bermakna bahkan menjadi sebuah bisnis di tangan empat anak muda Indonesia yang tergabung dalam Glitch Network.

Bryan Lie, Natalia Carorina, Sunny Gho, dan Feisal Hamka sejauh ini cukup berhasil meluaskan makna mainan. Bukan hanya sekadar menjadi pengoleksi, melalui Glitch Network, mereka ingin Indonesia bisa menjadi produsen karakter mainan layaknya merek yang sudah terkenal, seperti Marvel atau Disney.

Glitch memang didirikan oleh empat orang ini untuk membuka mata dunia bahwa Indonesia pun mampu dan punya potensi untuk menciptakan karakter mainan yang citranya cukup kuat. Namun, jika Glitch hanya diasosiasikan sebagai produsen mainan, Creative Director Glitch Network Bryan Lie menolak.

“Kita tidak fokus di mainan, walaupun produk itu yang mendongkrak nama Glitch Network. Hal ini sudah dibuktikan melalui produk God Complex yang menjadi exclusive figurine line dan direspons baik di luar negeri. Namun, kita sebenarnya fokus pada dunianya, idenya,” ujarnya.

Bryan menyebut produknya intellectual property (IP) dan bentuknya bisa mainan, komik, film, dan lain sebagainya. Sekarang, Glitch Network sudah memiliki beberapa produk, baik untuk pasar luar negeri, melalui God Complex, dan pasar dalam negeri melalui komik Rixa.

 

Glitch Network, menurut Bryan, berperan sebagai produsen. Jadi, Glitch bekerja sama dengan seniman grafis. Dari situ, idenya dikembangkan dan dikonsepkan untuk kemudian dicocokkan dengan medium yang sesuai. Sebab, setiap medium, baik itu komik, film, atau video game punya target dan tujuan yang berbeda.

Produk God Complex dari Glitch Network sudah melanglang buana dari Asia hingga Amerika. Bryan bangga berhasil menjadi yang pertama dari Indonesia yang tampil di pameran Comic-con terbesar dunia, yaitu San Diego Comic-con pada Juli lalu.

“Saya bangga bisa membawa Indonesia lewat Glitch Network ke sana. Dari sanalah kita mendapatkan apresiasi. Kini, God Complex pun sedang dalam penjajakan dengan berbagai pihak, misalnya Hollywood untuk dibuat film, atau beberapa produsen game untuk dibuat jadi video game,” ujarnya.

God Complex pun sudah dilepas ke pasar internasional lewat daring (online). Namun, Bryan tidak melupakan pasar lokal. Untuk pasar lokal, Glitch meluncurkan komik Kosmik. Komik ini merupakan kompilasi dari komikus terbaik Indonesia. Bryan menjelaskan, kenapa terjadi perbedaan produk untuk pasar lokal dan asing.

“Karena isu yang diangkat tidak bisa serta-merta disamakan. Di Indonesia sendiri, budaya dan norma yang ada sering bertentangan dengan cerita yang ingin diangkat. Makanya, kami buat klasifikasi, mana yang pantas untuk dalam negeri dan mana yang untuk luar negeri,” ungkapnya.

Selama ini, Glitch Network berjalan sendiri. Mereka bergerilya dengan dukungan pekerja yang seluruhnya adalah orang lokal, termasuk saat pameran ke luar negeri. Direktur Glitch Feisal Hamka mengatakan, mereka tanpa dukungan pemerintah berpameran. Keyakinan mereka karena dari sejak awal Glitch memang ditujukan untuk bisa seperti Marvel atau Disney. Mereka ingin membuka mata dunia bahwa produk IP dari Indonesia bisa mengglobal.

“Kami mengajak seniman-seniman kreatif dari Indonesia untuk bisa maju bersama. Sebab, selama ini kreativitas mereka sangat tinggi, tetapi bingung hasilnya mau dipasarkan bagaimana dan ke mana. Kami tidak ingin maju sendiri, tetapi kami juga mau mereka maju. Banyak orang kita yang sudah mengerjakan proyek Marvel atau lainnya. Berarti potensinya ada. Sayang, kalau kita hanya jadi buruh atau hanya sekadar fans,” pungkasnya. [VTO]