Untuk bisa unggul dalam Perang Dunia II, pasukan Jerman membekali diri dengan artileri-artileri unggulan. Salah satunya, Sturmtiger, artileri bergerak yang dibangun dari sasis tank Tiger I dan dipersenjatai pelontar roket berkaliber besar.

Sturmtiger yang juga dikenal dengan nama Tiger Morser, Sturmmorser Tiger, dan Sturmpanzer VI punya misi utama untuk membantu serangan pasukan infanteri yang bertempur di wilayah perkotaan. Replika kendaraan yang antara lain pernah pernah bertempur di The Battle of the Bulge ini dengan apik dirakit dan diwarnai oleh Uun Barliansyah.

replika Sturmtiger
Replika Sturmtiger. Foto dok. Antonius SP

Bukan cuma Sturmtiger, saat ditemui di workshop-nya di Jakarta Selatan pada Rabu (28/6), Uun juga tengah menggarap beberapa model kit atau replika kendaraan tempur lain seperti Sonderkraftfahrzeug (Sd.Kfz), zenitnaya samokhodnaya ustanovka (ZSU) 57, dan Dora (meriam raksasa Jerman yang pernah dipakai membombardir Sevastopol, Rusia).

Uun menyadari, hobi merakit dan membuat diorama ini bisa mendatangkan uang, sehingga memutuskan untuk menekuni hobi ini menjadi sebuah profesi. Foto dok. Antonius SP

“Mulanya dari tahun 1976, saya masih SMP. Memang hobi merakit barang-barang hobi, sampai sekarang. Tahun 2004, saya ikut kompetisi Indonesia Miniature Expo dan menang. Saya semakin sadar ternyata hobi ini (merakit dan membuat diorama) bisa menjadi uang. Akhirnya, saya putuskan, merakit dan membuat diorama ini menjadi profesi,” kata Uun.

Keputusan Uun tepat. Usahanya yang berdiri di bawah bendera Ghostrecon Extreme Diorama berkembang. Tidak hanya membeli dan merakit, tapi juga scratchbuild atau membuat model dari awal menggunakan bahan yang sesuai untuk mendukung proyek yang lain seperti maket lapangan gas yang baru rampung dikerjakan.

Kemampuan berbeda

Keindahan model kit, replika, atau miniatur adalah ketika ia bisa terlihat seperti aslinya. Namun, tidak semua orang mampu membuat tampilan yang seperti itu.

“Susahnya memang di situ, menghidupkan dan memberi feel pada model kit. Misalnya, membuat kondisi kendaraan seperti terpakai (used) dengan warna dan memberikan efek karat pada posisi yang tepat. Banyak orang frustasi membuatnya. Ini kan enggak murah, makanya banyak dari mereka yang menyerahkan ke saya,” kata Uun.

Kesulitannya adalah “menghidupkan” dan memberi feel pada model kit. Menambahkan efek seperti bekas pemakaian, karatan, hingga lumpur. Foto dok. Antonius SP

Bukan cuma pada model kit, menghidupkan tampilan dengan diorama juga mendatangkan tantangan tersendiri. Pasalnya, pembuat diorama juga harus punya pengetahuan soal material diorama dan latar yang tepat, seperti soal tanah (ground), bebatuan, hingga tanaman tempat model kit tersebut bakal ditempatkan.

Misalnya, model kit kendaraan tempur Perang Dunia II akan digambarkan dalam miniatur lanskap alam Eropa, tentu harus dipertimbangkan jenis tanaman yang tumbuh di benua tersebut. Beda lagi kalau yang digambarkan adalah perang di Vietnam dengan tanaman tropis.

ghostrecon extreme diorama
Pengetahuan seperti jenis tanaman juga diperlukan agar diorama semakin mirip dengan kondisi yang sebenarnya. Foto dok. Anton SP

Demikian pula tentang pengetahuan soal obyek bangunan atau infrastruktur yang juga penting dipertimbangkan. “Kita harus tahu saat membuat diorama, bangunan yang ada di dalamnya itu dari zaman kapan, bagaimana infrastrukturnya, sampai material pembangunnya apa saja. Kita harus tahu terlebih dulu, seberapa besar pintu dan jendela pada masa itu. Itu harus dipelajari untuk mendukung diorama kita,” kata Uun.

Uun menegaskan, prinsip yang harus diingat saat hendak membuat diorama adalah dengan mengutamakan logika. Kalau logika bisa diterima, hasilnya tentu akan bagus. Inilah yang jadi alasan proses pembuatan diorama menjadi lebih rumit karena membutuhkan riset dan pengetahuan yang mendalam supaya tampilannya nyata.

ghostrecon extreme diorama
Uun (ke-2 dari kanan) bersama tim di workshopnya di Jakarta Selatan. Foto dok. Anton SP

“Enak aja ngeliat-nya nanti. Walau kadang ada yang bilang, ‘ya terserah gue. Tapi rasanya enggak pantas ngomong begitu. Kita harus ngomong pada hal yang benar, harus dibuat semirip mungkin, apalagi kalau mengatasnamakan sejarah,” pungkas Uun. [ASP]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 30 Juni 2018