Berdasarkan data pemerintah Republik Indonesia, indeks keuangan inklusif Indonesia pada 2014 baru mencapai 36 persen. Namun, baru-baru ini, pemerintah Indonesia menargetkan pada 2019 indeks itu menjadi 75 persen.

Sejauh ini, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara tetangga, Malaysia (81 persen) dan Thailand (78 persen). Negara kita masih unggul tipis dibandingkan dengan Filipina dan Vietnam yang sudah mencapai 31 persen. Salah satu cara untuk mempercepatnya melalui teknologi keuangan atau lazim disebut financial technology (fintech).

Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat membuka Indonesia Fintech Festival and Conference di ICE, BSD City, Tangerang, Banten, pada Selasa (30/8) mengatakan, teknologi memang sangat dibutuhkan untuk mendukung inklusi keuangan.

“Kemampuan teknologi digital perlu kita lihat sebagai sebuah kesempatan emas terutama untuk menjangkau mereka yang selama ini belum terjangkau jasa layanan keuangan formal,” ujarnya.

Presiden mengungkapkan, mayoritas masyarakat di Pulau Jawa sudah terjangkau layanan keuangan, tetapi tidak di luar Pulau Jawa. Bahkan, menurut Presiden, simpanan bank yang paling mendasar pun belum bisa dinikmati semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, dirinya berharap dengan aplikasi dan teknologi digital, masyarakat dapat memaksimalkan usaha dan bisnis serta penggunaan jasa lembaga keuangan.

“Inilah yang saya kira hal-hal yang dulu tidak mungkin, sekarang bisa dimungkinkan. Karena ada feedback. Karena ada teknologi informasi. Dan, aplikasi yang sudah bisa dipakai serta kecepatannya yang terlihat sangat cepat,” ujarnya.

Tren berkembang

Banyak pengamat mengatakan, the next big thing di Indonesia adalah perkembangan startup fintech. Menurut The National Digital Research Centre, fintech merupakan suatu inovasi pada sektor finansial dengan sentuhan teknologi modern. Di berbagai negara, startup fintech sudah menjadi tren, tak terkecuali Indonesia.

Jika pernah mendengar atau menggunakan layanan dari CekAja, UangTeman, Pinjam, CekPremi, Bareksa, Doku, Kartuku, dan Investree, berarti Anda sudah pernah menggunakan layanan dari fintech. Layanannya pun beragam, mulai dari sekadar memberikan informasi, menyediakan payment gateway, hingga simpan pinjam dan kredit barang.

Saat ini, tren fintech yang mulai naik daun adalah peer to peer (P2P) lending, sebuah layanan keuangan berbasis teknologi yang mempertemukan pihak peminjam dengan pemberi pinjaman. Kelebihannya, pihak peminjam bisa mendapatkan uang lebih cepat, sedangkan pemberi pinjaman akan mendapatkan pengembalian plus bunga yang diklaim lebih menguntungkan daripada bank. P2P lending bisa menjadi sarana investasi.

Pemain P2P lending ini cukup beragam dengan pasarnya masing-masing. Misalnya, Amartha yang fokus untuk pinjaman masyarakat desa, Investree yang memilih memberikan pinjaman berbasis invoice perusahaan, atau Modalku yang menyasar pada usaha UKM. Selain P2P lending, ada juga fintech yang menyasar pada payment gateway. Sebut saja Kartuku, Dimo, iPaymu, Veritrans, atau Doku yang mungkin sudah pernah Anda dengar atau coba gunakan.

Dengan penetrasi ponsel pintar yang sudah sangat banyak, tentu saja penetrasi layanan teknologi keuangan ini tinggal menunggu waktu saja. Dukungan jaringan internet yang terus meluas juga semakin memudahkan masyarakat untuk bisa menggunakan fintech untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sekarang, pemerintahlah yang harus bekerja keras agar pertumbuhan fintech ini tidak menjadi masalah ke depannya dengan membuat regulasi agar manajemen risiko perusahaan fintech bisa terukur sekaligus melindungi konsumen. [VTO]

foto: shutterstock

noted: Gapai Inklusi melalui Teknologi