Kualitas hubungan antara ibu dan buah hati dalam usia 18 bulan pertama menentukan pengembangan emosional anak hingga 21 tahun kemudian. Demikian hasil penelitian yang dilakukan oleh University of Reading dan University College London, dipublikasikan di Journal of Child Psychology and Psychiatri pada awal tahun ini.

Penelitian itu mengungkapkan terdapat perbedaan aktivitas otak merespons pengalaman emosional positif di antara anak yang memiliki kedekatan dengan ibu pada masa bayinya dan yang tidak. Penelitian ini dilakukan selama 22 tahun, dengan mengamati pola hubungan ibu dan anak dari masa bayi hingga dewasa yang menjadi responden penelitian. Mereka yang memiliki hubungan lekat pada masa bayi akan lebih mungkin memiliki perkembangan emosional yang positif dan mampu menjalin hubungan sosial dengan orang-orang di sekitarnya.

Berbagai penelitian pun menekankan pentingnya kedekatan antara orangtua dan anak untuk membantu anak memahami cara mengontrol emosi negatif, terutama saat menghadapi stres. Mereka juga lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar, bersikap empati, maupun bekerja sama dengan orang lain.

Keterampilan sosial itulah yang menjadi fondasi bagi anak untuk menjalin hubungan dengan orang sekitarnya di masa mendatang. Sebuah studi juga mengatakan bahwa anak-anak yang tidak memiliki kedekatan positif dengan orangtua pada masa balita cenderung lebih mudah terjerumus pada ragam kasus kenakalan remaja.

Para ibu bekerja pun tetap bisa memiliki kedekatan dan menciptakan rasa lekat yang aman dengan anak. Yang diutamakan selalu menyediakan waktu berkualitas untuk bersama anak, misalnya membaca buku bersama setiap sebelum tidur, meminta anak membantu menyiapkan meja makan sebelum makan bersama, dan lainnya. Anak-anak menyukai ritual dan rutinitas karena hal ini menimbulkan rasa bahwa mereka adalah bagian dari keluarga dan mendapat kepercayaan.

Seperti halnya Margaretha Rini (65) yang kini memasuki masa 10 tahun purnakerja. Ia mengakui, bukan hal mudah untuk selalu memantau anak-anaknya ketika masih kecil, terlebih karena belum ada telepon di rumah.

“Saya selalu membiasakan diri begitu sampai di rumah, anak-anak tidak lagi dipegang pengasuhnya, tetapi oleh saya dan bapaknya secara langsung. Begitu pula saat akhir pekan. Dengan begitu anak-anak bisa terus merasa bahwa saya tetap ada buat mereka. Untungnya dulu tidak ada ponsel dan televisi, jadi memang waktu pertemuan amat intensif dan berkualitas,” terangnya mengenang masa lalu. [ADT]

noted: fondasi dalam kehidupan anak

foto: shutterstock