“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Peribahasa ini kurang lebih dapat menggambarkan cancel culture, sebuah fenomena yang tengah ramai menuai pro dan kontra di media sosial. Lantas, apa itu cancel culture, serta bagaimana dampak dan cara menyikapinya?

Mengenal cancel culture, ancaman serius terhadap reputasi

Media sosial telah menjadi arena utama bagi publik untuk mengekspresikan pendapat, termasuk dalam praktik cancel culture. Istilah ini merujuk kepada tindakan mencabut dukungan terhadap individu, kelompok, atau organisasi karena pernyataan atau tindakan mereka dianggap tidak pantas atau menyinggung. Cancel culture biasanya ditujukan untuk menekan dan menuntut akuntabilitas pihak yang dianggap melakukan kesalahan. 

Orang atau kelompok yang terkena cancel culture biasanya pertama kali disorot di media sosial untuk meningkatkan kesadaran publik tentang dugaan pelanggaran mereka. Setelah itu, kampanye cancel culture dimulai. Bentuknya dapat berupa berbagai tindakan, seperti menekan organisasi agar membatalkan acara atau penampilan publik mereka atau mengorganisir gerakan boikot terhadap produk, layanan, atau karya mereka.

Cancel culture menjadi ancaman serius terhadap reputasi individu atau kelompok yang telah dibangun sejak lama. Cancel culture bisa membuat seseorang kehilangan peluang karier hingga menyebabkan perusahaan kesulitan mencapai target pendapatan.

Beberapa contoh kasus yang memicu terjadinya cancel culture adalah figur publik yang tertangkap melakukan tindakan rasis, misogini, hingga pelecehan seksual. Namun, hal kecil seperti opini atau komentar yang dianggap kurang menyenangkan juga dapat mendorong terjadinya pencabutan dukungan publik terhadap produk, layanan, atau karya milik indvidu atau kelompok.

Pro: cancel culture wujud akuntabilitas dan kontrol sosial

Cancel culture memberikan kekuatan bagi masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban dari figur publik atau perusahaan atas tindakan mereka. Hal ini dianggap mampu mencegah tindakan tidak etis atau pernyataan yang merugikan tanpa konsekuensi. Dalam konteks ini, cancel culture dianggap sebagai alat kontrol sosial dan hukuman yang efektif.

Dengan adanya cancel culture, isu-isu sensitif seperti diskriminasi, rasisme, dan seksisme semakin menjadi perhatian. Publik menjadi lebih sadar akan pentingnya perilaku yang inklusif dan menghormati semua orang.

Baca juga: Menjual Reputasi, Aset yang Tak Ternilai

Kontra: cancel culture menghakimi tanpa proses yang adil

Salah satu kritik terhadap cancel culture adalah sifatnya yang langsung menghukum tanpa memberi kesempatan bagi individu untuk menjelaskan atau memperbaiki kesalahan mereka. Seorang figur publik bisa saja menjadi sasaran cancel culture akibat pernyataan yang dibuat bertahun-tahun lalu, meskipun saat ini ia telah berubah dan tidak lagi memiliki pandangan yang sama.

Cancel culture bisa berdampak besar pada kesehatan mental seseorang. Kecaman massal yang diterima di media sosial bisa menyebabkan stres, kecemasan, bahkan depresi. Banyak selebritas atau tokoh media sosial yang mengalami tekanan berat sehingga memilih untuk menarik diri dari kehidupan publik setelah menjadi sasaran cancel culture.

Selain itu, serangan publik dalam praktik cancel culture  juga membuat sejumlah orang merasa takut untuk berpendapat. Hal ini dikhawatirkan dapat menghambat diskusi yang sehat dan membuat orang enggan berdialog mengenai isu-isu penting.

Menyikapi cancel culture

Sebagai fenomena sosial yang berkembang di era digital, cancel culture memiliki sisi positif dan negatif yang perlu disikapi dengan bijak. Menuntut akuntabilitas memang penting. Namun, memberikan ruang untuk refleksi juga merupakan hal yang baik untuk dilakukan. Kritik dapat diberikan melalui pendekatan yang lebih konstruktif, obyektif, dan edukatif tanpa serangan personal dan kata-kata kasar terhadap individu atau kelompok.

Dari sisi individu atau kelompok yang rentan menjadi sasaran cancel culture, ada baiknya pula untuk konsisten membangun dan menjaga reputasi yang baik. Hal ini dapat dilakukan dengan lebih berhati-hati dalam bertindak dan berucap, serta meningkatkan sensitivitas sosial dan pemahaman tentang isu-isu yang berkembang. Selain itu, penting pula untuk memiliki sikap terbuka terhadap kritik dan menunjukkan itikad baik untuk belajar serta berkembang.

Pada akhirnya, keseimbangan antara akuntabilitas dan keadilan harus dijaga. Jika dibiarkan tanpa batasan yang jelas, cancel culture dapat menjadi hukuman sosial yang kejam. Namun, jika dilakukan secara bijak, cancel culture bisa menjadi dorongan bagi individu dan organisasi untuk lebih bertanggung jawab atas tindakan mereka.

Baca juga: Background Check Menginvestigasi Pelamar Bahkan Sampai Media Sosial