Di tengah belantara beton dan menjamurnya minimarket modern, Jakarta masih punya pasar tradisional sebagai ruang interaksi sosial. Meski terhimpit, tempat ini tetap punya cerita unik. Salah satunya di Pasar Muara Karang.

Bukan semata jadi tempat menjual berbagai jenis sayur, buah, dan barang kelontong, pasar yang terletak di Pluit, Jakarta Utara, tersebut juga kondang sebagai surga kuliner sarapan. Mayoritas pedagang di pasar Muara Karang sudah memulai aktivitas sejak pukul 04.00 WIB dan mulai berjualan pukul 05.00 WIB.

Sekadar saran, Anda yang tertarik untuk sarapan di tempat ini sebelum mulai menelusuri lorong pasar bisa menikmati masakan yang sedikit berkuah dan hangat. Salah satunya, menu dari Bubur Ayam 69 Botak di terowongan Pasar Muara Karang lantai dasar.

Selain menyediakan bubur ayam, ada pilihan bubur lain, kwetiau, misua, dan bihun kuah dengan varian ikan kakap dan daging cincang sapi. Ditambahkan satu butir telur ayam dan cakwe ke dalam bubur maupun kwetiau, rasa gurihnya jadi lebih sempurna.

Menurut sang penjual, bubur ini sudah ada lebih dari 20 tahun di Pasar Muara Karang. Setiap hari buka pukul 05.30 hingga 11.30 WIB, ketenaran warung makan ini membuat banyak warga dari luar berdatangan, seperti dari Bekasi dan Bandung.

Tepat di belakangnya, terdapat Kedai Kopi Teratai. Untuk Anda yang tidak ingin menyantap “makanan berat”, kedai ini bisa menjadi alternatif. Buka dari pukul 04.30 WIB hingga 12.00 WIB, kedai ini memiliki minuman favorit yaitu kopi susu dan teh tarik khas Medan. Usaha rumahan ini telah dijalankan lebih dari 18 tahun di Pasar Muara Karang, dan memiliki pengunjung yang loyal. Salah satunya yaitu Liem (88).

“Biasanya sehabis olahraga pagi, saya pasti mampir ke sini. Sekadar menikmati teh hangat dan telur setengah matang. Kalau lagi ingin sarapan berat, saya suka memesan bubur atau kwetiau kuah di Bubur Ayam 69 Botak. Kalau diingat-ingat, kebiasaan sarapan  di sini sudah saya jalani selama 18 tahun,” ucap Liem.

Di sela-sela menikmati sarapan, pria lanjut usia yang tampak bugar ini dengan ramah menimpali sapaan dan canda pegawai warung makan dan pengunjung kedai. Bahkan, dia juga mengajak obrol pengamen yang datang untuk sekadar menyanyikan 1–2 lagu Mandarin atau Melayu.

Seusai sarapan, saatnya berkeliling berbelanja bahan makanan. Di pasar ini, Anda bisa menemukan beragam aneka sayur dan buah segar di berbagai sudut, terutama di lantai dasar pasar. Terselip di antaranya, Anda bisa melihat penjaja aneka kue basah, kerupuk, dan bumbu-bumbu dapur. Ada juga yang menjual piyama anak, ikan hias, serta soto dan nasi hainam khas Medan.

Ketika sayur-mayur, buah segar, dan kue basah sudah di tangan, saatnya pergi ke area daging dan ikan yang terletak di lantai dua.

 Ikan segar

Ada satu kios di lantai 2 yang menyita perhatian. Tidak seperti pemandangan di pasar tradisional pada umumnya, kios itu khusus menjajakan fillet salmon dan dori segar yang langsung didatangkan dari pelabuhan. Untuk fillet salmon dijual Rp 320 ribu per kilogram dan dori dipasarkan Rp 70 ribu per kilogram. Sementara itu, ikan lainnya yang dijual ada seabas, udang laut, bawal putih, dan belut Jepang.

Aan, sang pemilik kios, menuturkan dia dan bersama saudaranya sudah berjualan selama 20 tahun di Pasar Muara Karang. “Dalam dua kali seminggu, ikan didatangkan langsung kami simpan di chiller dulu selama 1–2 hari baru dijual di sini. Untuk mempertahankan kesegarannya, daging fillet diletakkan di atas keramik yang bagian bawahnya diisi es. Dalam sehari, kami bisa menjual fillet ikan 50–90 kilogram,” ucap Aan.

Puas berbelanja ikan segar, saatnya berpindah ke satu lantai ke bawah. Di lantai 1 ada aneka kios berjajar yang menjual bahan pakaian sekaligus menawarkan jasa jahit, menjual telur, hingga kosmetik dan perlengkapan mandi.

Lantas, sebelum menuruni tangga di sudut pasar, Anda bisa menemukan kios Sari Wangi yang menjual ayam panggang berbumbu rendang dan kecap khas Medan. Pemilik kios, Akiat menerangkan ia sudah 27 tahun berjualan di sana. “Bahkan, dari pasar belum bertingkat seperti ini, saya meneruskan usaha keluarga. Dari awal usaha, kami mengolah ayam dan membuat bumbu di rumah, barulah di sini tinggal dipanggang.”

 Interaksi sosial

 

Suasana Pasar Muara Karang mencerminkan banyak makna dan memberikan pengetahuan tentang realitas sosial. Meski bangunannya sudah bertingkat, penataan pasar masih berpola tradisional sehingga membuka ruang interaksi.

Tanpa disekat perbedaan etnis dan kelas, di pasar ini terjadi interaksi yang tulus dan harmonis antarinsan, menyatu dalam kebiasaan dan kehidupan sehari-hari. Tak hanya mendengar suara orang bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, tetapi di setiap sudut pasar  bisa terdengar sepotong percakapan dalam bahasa Mandarin, bercampur dialog dalam bahasa Jawa, Sunda, maupun dialek khas Medan dan Padang.

Sebagaimana dimuat dalam Menguak Pasar Tradisional Indonesia, pasar tradisional merupakan realitas sosial yang mengandung bentuk budaya, baik yang benda (tangible), tak benda (intangible), maupun yang bersifat proses itu sendiri sebagai budaya yang hidup (living cultural).

Di sisi lain, interaksi sosial antara penjual dan pembeli memiliki ikatan emosional lebih besar ketimbang jika aktivitas sosial terjadi di pasar-pasar modern. Dengan kata lain, di tempat inilah terjadi ajang pertemuan antarmanusia nyaris tanpa rekayasa. Tidak sebatas aktivitas jual dan beli, tetapi juga informasi yang dipertukarkan tentang lingkungan sosialnya.

Empat jam menyambangi Pasar Muara Karang menjadi pengalaman menyenangkan. Sembari berbelanja dan bertualang rasa, kita bisa menikmati kehidupan sehari-hari masyarakat yang saling berinteraksi tanpa sekat perbedaan. [AJG]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 17 Mei 2017

Foto: iklan Kompas/E. Siagian.