“Siapa itu, Mak?” tanya Aduen penasaran.
“Itu Banta, cucu Nenek Cut. Dia sedang liburan di sini,” jawab Maknya.
Keesokan harinya, Aduen melihat Banta bermain bola rotan sendirian di halaman. Bola itu terlihat unik, ringan, tetapi kuat. Banta tampak senang, menendang bola tinggi-tinggi dan menangkapnya. Aduen sangat ingin bermain bola seperti Banta. Ia pun pulang dan meminta Maknya untuk membelikan bola seperti itu.
“Maafkan Mak, Aduen. Mak belum bisa membelikanmu bola sekarang,” kata Maknya lembut. Aduen merasa sedih.
Aduen pergi ke tepi sungai. Di sana, saat melempar kerikil ke dalam air, ia melihat sesuatu yang mengapung. “Itu bola Banta!” seru Aduen. Ia segera mengambil bola rotan itu.
“Kenapa bola Banta ada di sini? Apakah dia membuangnya? Ah, tidak masalah. Aku menemukannya, jadi ini milikku sekarang,” pikir Aduen senang.
Sesampainya di rumah, Maknya bertanya, “Kamu terlihat senang sekali, Aduen. Tapi, bola siapa itu?”
“Ini milikku, Mak. Aku menemukannya di sungai!” kata Aduen.
“Aduen, barang yang kamu temukan belum tentu milikmu. Kamu harus mencari pemiliknya dahulu,” ujar maknya lembut. Aduen merasa kecewa dan berlari kembali ke sungai, membawa bola itu.
Di sana, dia duduk di bawah pohon. Tiba-tiba, seekor burung bertanya, “Kenapa kamu tampak sedih, hai anak kecil?”
“Jika aku menemukan sesuatu, apakah itu menjadi milikku?” tanya Aduen. Burung itu menjawab, “Tidak, kamu harus mengembalikannya kepada pemiliknya.”
Di tengah jalan, Aduen bertemu Dara, seorang gadis yang sering bermain dengannya. Dara terlihat sedang mencari sesuatu.
“Aku kehilangan selendang putihku,” kata Dara. Mendengar itu, Aduen teringat pada Banta. Mungkin dia juga sedang mencari bola ini. Dengan perasaan bersalah, Aduen memutuskan untuk mengembalikan bola.
Dia berlari ke rumah Nenek Cut. Di sana, Banta sedang bermain dengan bola rotan lain.
“Banta, aku menemukan bola ini di sungai. Apakah ini bolamu?” tanya Aduen.
Banta tersenyum, “Iya, itu bolaku. Tapi sekarang Nenek sudah membelikanku bola baru. Kamu boleh menyimpannya.”
Aduen sangat senang dan berterima kasih. Saat hendak pulang, Banta menahannya. “Hei, maukah kau bermain bola denganku?”
Aduen mengangguk. Mereka pun bermain bola rotan bersama di halaman Nenek Cut. Sejak saat itu, Aduen dan Banta menjadi teman baik.
Aduen begitu bahagia. Karena buah kejujurannya, dia mendapatkan seorang teman yang berharga. Karena kejujurannya juga, dia bisa mendapatkan bola rotan impiannya.*
Penulis: Rahmawati
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita