Siswa-siswi kelas V SDN 1 Tumijajar, Tulangbawang Barat, Lampung mengantre keluar kelas. Menjelang pulang sekolah, satu per satu anak-anak itu menyalami Bu Tina, wali kelas V.
Usai salaman, Hadid terlihat tergesa-gesa. Ia mendahului Azzam, Fauzi, Ranaa, dan Shafa keluar dari kelas.
“Did, kenapa buru-buru?” ujar Azzam.
“Maaf, Zam. Aku tidak bisa pulang bareng. Aku duluan ya, teman-teman?” Hadid menoleh sebentar, kemudian berlari meninggalkan keempat sahabatnya itu.
“Kok Hadid jadi aneh, ya? Beberapa hari di bulan puasa ini, Hadid tidak pernah mau pulang bareng,” ungkap Ranaa.
“Apa Hadid punya masalah dengan salah seorang di antara kita?” timpal Fauzi.
“Tidak,” jawab Shafa, Ranaa, Azzam hampir bersamaan.
“Kelihatannya seperti sibuk sekarang ini!” ujar Fauzi lagi.
“Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan Hadid,” harap Azam. “Oya, rencana kita membeli makanan untuk sedekah berbuka puasa di mushala nanti sore jadi, kan?”
“Jadi, dong!” seru Shafa.
Sore hari, empat anak itu sudah berada di alun-alun. Di sana ada pasar kaget yang menjual aneka makanan dan minuman untuk menu berbuka. Pasar ini hanya ada setahun sekali di bulan Ramadhan.
“Hari ini, kita beli kolak pisang saja untuk menu minumnya,” usul Fauzi.
“Kalau jajanannya, kita beli kumbu, onde-onde, dan bakwan?” timpal Ranaa.
Namun tiba-tiba Fauzi menarik lengan Azzam sambil menunjuk ke seseorang. “Eh, Zam! Bukannya itu, Hadid!”
“Iya, benar! Sedang apa dia di sini? Kalau mau beli makanan, kenapa tidak bareng kita saja?” Azzam keheranan.
“Teman-teman, yuk kita dekati Hadid!”
Hadid sangat terkejut ketika melihat keempat sahabatnya sudah berdiri di depannya. “Kalian? Kenapa, ada di sini?”
“Kamu lupa, Did? Kita kan dapat tugas piket membeli makanan dan minuman untuk buka puasa di mushala hari ini?” ujar Fauzi.
“Oh, maaf teman-teman. Aku lupa. Aku harus menemani ibuku berjualan makanan di sini. Semenjak ayah sakit, ibuku harus berjualan untuk menutupi biaya kebutuhan sehari-hari. Itu sebabnya, aku selalu pulang duluan. Aku harus membantu ibu menyiapkan aneka dagangan dan juga menjualnya,” urai Hadid tersipu.
“Oo, jadi ini sebabnya? Kenapa tidak bilang saja sama kami, Did?” tanya Azzam.
“Aku malu teman-teman.”
“Kenapa mesti malu? Kami salut denganmu,” puji Fauzi.
“Iya, kamu malah sudah berlatih wirausaha sejak dini. Kamu bisa hidup sejahtera saat besar nanti menjadi seorang wirausahawan,” timpal Ranaa.
Hadid tersenyum.
“Coba lihat! Rupanya semua menu berbuka yang kita cari ada di sini. Kita tidak perlu susah-susah mencarinya,” ujar Fauzi kemudian.
“Kalau begitu, kita beli saja semua keperluan buka puasa di tempat Hadid,” tanggap Ranaa.
Hadid lalu melayani para pembelinya itu. Sekarang, Hadid tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi saat membantu ibunya berjualan di pasar kaget. *
Pendongeng: Kang Acep
Ilustrasi: Regina Primalita