logo nusantara bertutur

 

 

 

Pada minggu pagi yang cerah di daerah Semanu, Gunungkidul, Yogyakarta, Bu Rini meminta Agnes, anaknya yang kelas 4 SD untuk mengantarkan oleh-oleh ke rumah para tetangga.

“Selamat pagi, Bu Yanti,” Agnes mengucap salam kepada Bu Yanti yang sedang berada di teras rumahnya. Bu Yanti pun membalas salam Agnes.

“Bu Yanti, ini ada sedikit kue pie susu dari Ibu. Pagi tadi Ibu baru  pulang dari Bali mendampingi murid-muridnya yang praktik kerja lapangan di sana,”  kata Agnes.

“Terima kasih, Mbak Agnes,” tanggap Bu Yanti riang.

Nisa, putri tunggal Bu Yanti segera beranjak dari kamarnya dan menemui ibunya di teras. “Tadi ada suara Mbak Agnes, Bu?”

“Iya, barusan Mbak Agnes membawa kue pie susu oleh-oleh dari Ibunya,” terang Bu Yanti sambil menyerahkan kue dalam kemasan kertas itu kepada Nisa.

Nisa lalu duduk di kursi panjang di teras, didekat tumpukan kacang tanah dan kedelai yang baru saja dipanen ayahnya. Sementara ibunya masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan sarapan pagi.

Sambil menikmati kue pie susu, sesekali mata Nisa memandang rumah Agnes di sebelah selatan rumahnya. Rumah Agnes berpagarkan aneka tanaman warung hidup seperti lombok, bayam, terong, dan tomat dalam polybag, berjajar sebagai batas pekarangan dengan tetangga.

Nisa melihat Agnes keluar rumah menuju ke rumah Bu Siti di sebelah barat rumahnya sambil menjinjing bawaan. Nisa lalu berlari masuk rumah menemui ibunya.

“Ibu…Ibu!” seru Nisa.

“Ada apa Nisa?”  tanggap Ibu Yanti sambil mengelus rambut Nisa yang masih duduk di bangku kelas 3 SD itu.

“Nisa baru saja melihat Mbak Agnes mengantar sesuatu ke rumah Ibu Siti,” Nisa melapor.

“Oh, itu, Mbak Agnes juga mengantarkan oleh-oleh dari Ibunya ke Bu Siti. Bu Salam dan Bu Sumirah pasti juga dikirimi. Pokoknya tetangga di sekeliling rumah Bu Rini dapat bagian semua,” terang ibunya.

“Wah, sangat baik ya keluarga Bu Rini,” Nisa menilai.

Ibunya mengangguk. “Keluarga Bu Rini pagar rumahnya terbuat dari mangkok. Mangkok disini adalah kiasan, yang artinya kebaikan berbagi rezeki dengan tetangga. Seperti pepatah Jawa, “Luwih Becik Pager Mangkok, Tinimbang Pager Tembok” (lebih baik pagar mangkok, daripada pagar tembok).”

Nisa mendengarkan kata-kata ibunya dengan khidmat.

“Kita harus bersyukur tinggal di desa ini yang masih kental menjaga persaudaraan di antara para warganya. Nanti kalau kacang–kacang yang baru saja dipanen Bapakmu itu sudah dipilah dan dipilih, kamu mengantarnya sebesek ini untuk Bu Rini, ya?” ujar Bu Yanti sambil menunjuk  besek bambu didekatnya.

Nisa mengangguk. Dalam hati ia merasa bahagia, bisa tinggal di desa yang para warganya sangat menjaga kerukunan hidup antar sesama, meskipun  berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. *

Penulis: Wiyana
Pendongeng: Kang Acep
Ilustrasi: Regina Primalita