Di sebuah rumah di pinggiran Kota Pekanbaru, Riau, Dida mengintip dari kaca jendela ruang tamu. Adel dan Bunga, keduanya teman sekelasnya, sedang menunggunya di gajebo pekarangan rumahnya. Dengan malas Dinda kembali ke kamarnya.
“Dinda, kenapa kembali ke kamar?” tegur Bunda. “Adel dan Bunga sudah menunggumu sejak tadi, lho.”
“Dinda… sedang tidak enak badan, Bunda,” sahut Dinda berbohong.
Bunda menatap wajah Dinda lekat-lekat. “Bunda yakin, Dinda dalam kedaan sehat. Hanya saja, wajah Dinda tidak secerah biasanya.”
Bunda lalu berkata. “Dinda pasti sedang menyimpan sesuatu yang kurang menyenangkan di hati. Ayo, cerita sama Bunda. Siapa tahu Bunda bisa memberikan jalan keluarnya.”
Dinda lalu mulai bercerita, “Dinda terganggu dengan kebiasaan Adel yang suka bersiul-siul saat belajar kelompok. Sementara Bunga selalu sibuk dengan ponselnya. Waktunya lebih banyak mengetik chat ketimbang membalas soal-soal latihan.”
Dinda lalu melanjutkan, “Sebenarnya, Dinda ingin sekali menegur mereka. Tapi takut mereka tersinggung. Karena Dinda cinta damai, dan tak ingin ada pertengkaran, maka ya sudah Dinda biarkan saja kebiasaan buruk mereka itu.”
“Tapi kamunya menjadi malas berinteraksi dengan mereka lagi, kan, karena kebiasaan mereka? Cinta damai itu memang sebuah keharusan. Menjaga perasaan orang lain itu juga memang baik. Tetapi akan lebih baik, jika Dinda mau mengatakannya terus terang, apa yang menjadi unek-unek Dinda itu. Karena ini demi kebaikan bersama. Mereka pasti akan mengerti. Asal Dinda menyampaikan dengan tutur kata yang baik dan lembut.”
Dinda tertegun mendengar nasihat Bunda. Dua hari lalu, gara-gara kekesalannya pada kebiasaan Adel dan Bunga, Dinda telah membohongi kedua temannya itu. Ia minta Pak Gimin, tukang kebunnya, mengatakan bahwa ia sedang sakit.
Setelah berterima kasih pada Bunda atas nasehatnya, Dinda cepat-cepat beranjak ke luar rumah dan menemui Adel dan Bunga di gajebo.
“Maaf, sudah menunggu lama,” Dinda melemparkan senyuman hangat.
“Kukira tadi kamu sudah tidak mau lagi belajar kelompok dengan kami,” kata Adel tersendat. “Setelah merenung, aku akhirnya mengerti. Kebiasaanku bersiul-siul mungkin mengganggu konsentrasimu saat mengerjakan soal-soal. Aku janji, tidak akan bersiul-siul lagi selama belajar kelompok.”
“Aku juga janji, akan menyimpan ponselku dalam tas. Jadi kita bisa lebih konsentrasi saat mengerjakan soal-soal latihan,” timpal Bunga.
Betapa terharunya Dinda. Tanpa dinasehati, kedua sahabatnya mau berubah dengan kesadaran sendiri. Dinda menyadari, persahabatan yang penuh kedamaian, bisa dicapai apabila semua pihak bisa saling mengerti dan memahami, dan juga mau merubah perilaku yang kurang baik. *