Begitulah Rizki, setelah menyetorkan tugas sekolahnya, dia akan sibuk di halaman belakang, menanam bunga dan aneka herbal. Dia memang tidak memakai polybag. Rizki mengikuti saran Kak Kia untuk memakai plastik dan botol bekas saja. Selain hemat, juga membantu mengurangi sampah plastik, melakukan daur ulang sampah menjadi lebih bernilai.
Aneka bunga dan tanaman bisa tumbuh dengan baik, karena Rizki merawatnya dengan baik. Kakaknya mengambil foto-foto tanaman itu dan membagikannya di media sosial miliknya. Gambarnya disertai caption yang menarik, sehingga banyak orang menyukainya.
Tak sampai sebulan, mulai banyak orang yang datang, sekadar melihat atau meminta bibit tanaman. Rizki dengan senang hati memberikannya cuma-cuma.
Suatu sore, Rizki sedang menikmati bolu tiwul dan teh hangat bersama Kak Kia, sambil melihat-lihat tanamannya. Telepon genggam Kak Kia terus berbunyi. Senyum Kak Kia mengembang sempurna.
“Dek, tanamanmu yang Kakak posting di media sosial, satu pot tanaman mint ada yang mau membeli. Kalau kamu setuju untuk menjualnya, kamu ikut Kakak yuk, mengantar ke pembelinya di Lawean,” kata Kak Kia.
Rizki mengangguk senang. Ia lalu berlari ke kamar mengambil maskernya. Sementara itu, Kak Kia membenahi tanaman yang akan diantar ke pembeli.
Rasanya bahagia, bisa menikmati udara sore di atas motor, hal yang jarang mereka lakukan sejak pandemi.
Sampai di daerah Sriwedari Laweyan, Surakarta, tibalah mereka di rumah yang dituju. Seorang ibu muda tersenyum di depan rumah bercat warna Lilac.
Bu Ria, si pembeli bunga kagum, saat tahu tanaman yang dibelinya adalah hasil rawatan Rizki, yang masih duduk di kelas 5 SD.
“Wah Hebat sekali kamu, Nak! Masih kecil sudah pandai menanam bunga,” kata Bu Ria memuji tulus. Rizki lalu tersenyum senang, menerima uang pembayaran bunganya.
“Kakak mengajari saya cara menanam bunga, tapi Kakak tidak mau menanam sendiri, kakak takut cacing,” ujar Rizki polos. Wajah Kak Kia memerah karena malu, sementara Bu Ria tertawa.
“Kalau begitu, kamu yang jadi direktur toko bunganya saja, dan Kakak yang jadi supirnya,” kata Bu Ria.
“Ayo, Direktur, mari kita pulang, supir siap mengantar,” canda Kak Kia pada Rizki, setelah pamit pada Bu Ria.
“Ok, let’s go, Kakak…!” kata Rizki tersenyum, sambil memeluk kakaknya di motor. Mereka siap pulang ke Laban Wetan, Sukoharjo, rumah mereka.*
Penulis: Cicih Surya
Pendongeng: Paman Gery (IG: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita