Kondisi masyarakat desa, yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, rata-rata terpuruk. Saat sedang panen, mereka menjual beras dengan harga murah. Saat panceklik, beras langka, mereka justru membeli beras.

Ketua Kelompok Sadar Wisata Se-Sleman Sudjarwati mengenang kembali kondisi desa yang dihuninya, Desa Tanjung, Sleman, Yogyakarta, pada 17 tahun silam. Kala itu, banyak orang pergi merantau demi mencari penghasilan yang lebih baik. Kehidupan desa kian redup, juga mengering. Mereka angkat kaki dari rumahnya di desa.

“Muncul pemikiran, bagaimana caranya untuk tidak hanya mengandalkan sektor pertanian. Rumah-rumah warga umumnya berukuran besar, bisa tetap berdaya guna. Banyak rumah yang masih menggunakan arsitektur tradisional, dengan struktur limasan, rumah joglo, dan dalam lingkungan kampung yang masih asri,” tuturnya lagi.

Meski Yogyakarta telah lama menjadi destinasi wisata favorit di Indonesia, wilayah Sleman relatif masih jauh dari jangkauan wisatawan domestik maupun mancanegara. Sleman hanya menjadi jalur yang dilewati pada rute Malioboro-Candi Borobudur, yang tak lain dua spot wisata utama Yogyakarta dan sekitarnya.

Lewat Desa Tanjung, Sleman mengubah nasib. Dengan bantuan seorang pegiat di industri pariwisata, Hasbullah, dengan pelan tetapi pasti, Desa Tanjung membenahi diri lalu berkembang menjadi desa wisata.

Perubahan ini tidak hanya mengubah wajah Desa Tanjung, tetapi juga derap kehidupannya. Jika sebelumnya hanya menjadi jalur untuk lewat, kini wisatawan juga singgah. “Sehingga dollar (Amerika) itu juga bisa dicicipi warga Sleman,” tambah Sudjarwati.

Multidampak

Pengembangan desa wisata di kawasan Sleman telah dirintis sejak 2000. Pada 2001, Desa Tanjung menjadi desa pertama yang meneguhkan diri sebagai desa wisata. Pengembangan Desa Tanjung sebagai desa wisata bermula dari adanya rumah joglo yang telah berusia 200 tahun.

Sejak itu, warga mulai mempelajari sejarah dan asal usul Desa Tanjung. Kehidupan kesehariannya, makanan dan minuman tradisional, pohon langka yang ada, sumber mata air, dan seterusnya. Setiap sudut rumah dan desa menjadi aset berharga. Perlahan, warga menyadari, ritme hidup yang selama ini dianggap wajar, punya nilai istimewa di mata orang lain.

Dalam lima tahun, banyak terjadi perubahan di Desa Tanjung. Warga semakin kreatif membuat sajian tradisional, menyajikan atraksi seni dan budaya, kebersihan meningkat, fasilitas umum seperti jembatan dibangun secara gotong royong sehingga desa kian apik dan taraf ekonomi warga meningkat.

Masuknya pengunjung ke desa pun turut mengubah pola pikir warga desa. “Yang dulunya tidak kuliah, sekarang banyak yang kuliah atau setidaknya mengambil beragam kursus,” terang Sudjarwati yang kemudian mendirikan Forum Komunikasi Desa Wisata pada 2003 dan menjabat sebagai ketua yang pertama.

1010-langgam_1
1010-langgam_5
1010-langgam_3
1010-langgam_4
1010-langgam_2

Berubahnya taraf kehidupan warga desa juga diamini Doto Yogantoro dari Desa Pentingsari, Sleman. Berada di lereng gunung Merapi, pada era 1990-an Pentingsari mendapat predikat sebagai salah satu dusun miskin di antara desa-desa yang berdiri di lereng Merapi.

Kini, setelah 9 tahun dikembangkan menjadi desa wisata, Pentingsari telah berubah wajah sebagai salah satu desa sejahtera. Bermula dari hanya memiliki 10 homestay, kini ada 55 homestay yang berdiri di Pentingsari. Jumlah pengunjung juga terus bertambah hingga kini berkisar 30–35 ribu orang per tahun. Menurut Doto yang mengelola Desa Wisata Pentingsari, selama 2015-2017, omset dan pendapatan rata-rata per bulannya berkisiar Rp 150-200 juta.

Kawasan Sleman merupakan salah satu pionir pengembangan desa wisata yang kini menjadi unggulan ketiga dalam prioritas kerja Kementerian Pariwisata. Pengembangan desa wisata mampu mengakomodasi seluruh komponen masyarakat sehingga terlibat aktif dalam pengelolaan pariwisata, bukan sekadar sebagai obyek ataupun penonton. Tradisi, kearifan lokal, dan budaya masyarakat turut terjaga karena inilah yang menjadi esensi utama dari setiap desa wisata.

Dengan lebih dari 74 ribu desa yang tersebar di Indonesia, pengembangan desa wisata menjadi sebuah keniscayaan. Targetnya, dapat terbangun 100 ribu homestay pada 2019. Disebutkan, ketertarikan pengunjung terhadap homestay akan naik dari 10 persen pada 2016 menjadi 15 persen pada 2020, di kota-kota besar dunia. Dari 2 persen pada 2016 menjadi 5 persen pada 2020 di Asia Tenggara.

Homestay menjadi jiwa dalam pengembangan desa wisata. Konsep homestay memadukan penginapan berbiaya terjangkau dan pengalaman budaya lokal yang otentik. “Di sinilah terjadi transfer nilai, transfer ilmu, baik kita maupun mereka, ya, sama-sama belajar,” ujar Sudjarwati.

Dulu, makna wisata tidak lebih dari konteks piknik. Wisata memang aktivitas rekreasi. Namun, wisata sejatinya mencakup rancangan yang kompleks. Sebuah perjalanan yang mengajak kita mengupas lapisan demi lapisan dari setiap hal yang terlihat di depan mata. Ada pertukaran nilai, budaya, dan gagasan yang terkandung di dalamnya, untuk menjadikan hidup makin bermakna.

Oleh MI RANI ADITYASARI

Foto-foto Iklan Kompas/E. Siagian dan Fellycia Novka

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 9 Oktober 2017