Ibarat orang jatuh cinta dari mata turun ke hati, dunia kuliner membuktikan tumbuh cinta karena indera pengecap. Pergaulan global pun tercipta berkat hidangan di meja.

Lewat sepiring menu terjadi pertukaran nilai, tradisi, hingga cara pandang hidup suatu bangsa. Sensori indera pengecap turut membangkitkan seluruh indera pengalaman yang melibatkan konteks seni, budaya, dan ilmu sains. Seiring meningkatnya tren kuliner, jalur persahabatan antara dua negara atau lebih pun bergulir melalui petualangan indera pengecap.

Pada 2011, ahli gastronomi bernama Paul Rockower memperkenalkan istilah gastrodiplomacy. Istilah ini merujuk pada kegiatan promosi kuliner suatu negara kepada publik hingga pembentukan nation branding dan penguasaan pasar kuliner global. Istilah ini untuk membedakan dengan diplomasi kuliner, yang berjalan dari pemerintah ke pemerintah.

Menduniakan sajian Indonesia

Menurut Chef Degan Septoadji Suprijadi, memperkenalkan kuliner Indonesia di mancanegara bukan perkara mudah. “Utamanya untuk meyakinkan orang-orang yang masih asing dengan Indonesia. Budaya kuliner Asia dan western juga berbeda. Asia tipenya family meal, western lebih individual.”

Rujak, misalnya. Yang tipikal dengan budaya makan komunal. Biasa dimakan pada sore hari sambil berbincang-bincang bersama tetangga dan kerabat. Sambal ditaruh di atas cobek, lalu dicocol buah-buah segar. Ketika Chef Degan membawa rujak ke Eropa, banyak pengunjung yang awalnya ragu mencoba karena tak terbiasa makan komunal dengan cara ini. Namun, pada akhirnya, justru menikmati seni makan bersama.

Sembari menjajal makanan, pertukaran informasi pun kian terkuak. Hal ini karena sejatinya setiap menu makanan memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi. Tengok saja sate lilit khas Bali. Ternyata, setiap daerah di Bali punya cara tersendiri untuk membuat sate lilit. Sate lilit ini biasanya dibuat oleh kaum laki-laki sebagai salah satu kelengkapan berbagai upacara adat dan dibuat di banjar.

Selain itu, bicara soal nasi goreng yang bisa amat beragam. Nasi goreng di setiap rumah warga Indonesia berbeda. Baik dari segi racikan bumbunya, isi yang melengkapi, maupun cara menghidangkannya. Ada yang dengan telur dadar suwir-suwir, telur ceplok, telur dadar potong, timun, tomat, daun selada, dan seterusnya. Nasi goreng dari ujung Aceh hingga di daratan Papua juga punya rasa yang berbeda. Sementara itu, jika menilik lagi asal-usulnya, nasi goreng sejatinya merupakan salah satu pengaruh yang dibawa dari China, dengan memasak menggunakan wok atau wajan.

Ya, bicara soal khasanah kuliner Indonesia, kita diajak untuk kembali menelusuri jejak peradaban Nusantara. Masakan yang kini kita kenal, mendapat pengaruh dari India, China, Arab, dan Eropa.

“Saya melihat, kekayaan masakan Indonesia ini sebagai sesuatu yang amat positif dan menguntungkan. Ketika kita melakukan promosi makanan Indonesia di luar negeri, kita bisa terus berkreasi dengan memperkenalkan sesuatu yang baru,” lanjut Chef Degan.

Beberapa tahun terakhir, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pariwisata kian gencar membawa kekayaan kuliner Indonesia di mancanegara. Menjadi pintu baru untuk membuka keran pariwisata ke dalam negeri.

Apresiasi tinggi

Kisah yang mengandung sejarah dan budaya tinggi berkelindan dengan lezatnya makanan. Demi menghadirkan makanan Indonesia yang autentik, Chef Degan menggunakan bumbu-bumbu khas masakan Indonesia seperti jahe, kunyit, bahkan keluak yang kini sudah tak perlu lagi dibawa dari Tanah Air.

Racikan masakan tradisional digubah dengan sentuhan baru. Disajikan ala five star hotel hingga mengikuti standar syarat dan ketentuan ala Michelin. Hasilnya, pertemuan dua dunia pun terjadi. Rujak sorbet, salmon lodeh, bubur ketan hitam dengan coconut sorbet dan nangka, lapis legit dengan cinnamon ice cream, asinan bogor dengan scallop, atau daging tenderloin dengan bumbu rendang dan saus kaleo, hanyalah beberapa menu yang lahir dari kreasinya.

Tidak sedikit yang awalnya memandang sebelah mata pada kuliner Indonesia, kemudian memberi apresiasi tinggi. Chef Degan menceritakan pengalamannya saat menggelar festival masakan Indonesia di Paris pada Oktober 2016. Masyarakat Perancis yang dikenal memiliki budaya makan tinggi dan menduduki peringat teratas dalam tataran industri kuliner memberi apresiasi amat tinggi. Bukan hanya sekadar datang dan menonton, mereka menunjukkan antusiasme dengan memperhatikan detail cara memasak, bertanya berbagai jenis bumbu yang masih terasa asing, hingga meminta resep-resep makanan yang disajikan.

Tak jarang, Chef Degan dihubungi salah satu tamu yang pernah menghadiri promosi masakan Indonesia dan bertanya lebih jauh tentang Indonesia. Ujung-ujungnya, karena jatuh cinta pada masakan Indonesia, akhirnya memutuskan menyambangi langsung negeri tropis ini.

“Dia bilang, itu adalah food dining termahal yang ia bayar karena istri dan anaknya begitu penasaran dengan Indonesia sehingga minta datang ke Indonesia,” cerita Chef Degan.

Namun, sebenarnya, dampak akhirnya bukan hanya menjadi pintu pariwisata bagi Indonesia dengan mendatangkan para pengunjung mancanegara. Chef Degan mengingatkan efek bola salju yang bisa dilahirkan dari kuliner, dengan merambah industri kuliner dan menjadi pemain di pasar global. Bahan baku Indonesia bisa menjadi yang utama di pasar global, bumbu-bumbu asal Indonesia pun menjadi komoditas yang bisa diunggulkan.

Setiap tahun, Chef Degan membuat malam promosi makanan Indonesia di Jerman, di restoran bintang 3 Michelin. Pada 2016 saja, Chef Degan dan timnya telah menggelar promosi masakan Indonesia di Thailand, Paris, London, dan Jerman. Pada 17-21 Mei, Chef Degan kembali hadir di Paris, tepatnya di Le Grand Intercontinental Perancis.

Memiliki keahlian kuliner Perancis, Thailand, dan Indonesia dengan pendidikan di Eropa, Chef Degan terus berinovasi. Selama 18 tahun tinggal di luar negeri tidak membuatnya lupa pada akar identitasnya, Indonesia, yang kemudian membuatnya jatuh hati lebih dalam.

Ia pun selalu berpesan pada generasi muda penerus kiprahnya, “Tidak perlu merasa lebih keren memasak dengan teknik western daripada masakan Indonesia. Kuasai teknik-teknik memasak dari Barat, tetapi jangan lupa akarmu. Pelajarilah masakan Indonesia.” [MI RANI ADITYASARI]

Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Mei 2017

Foto-foto: Chef Degan Septoadji Suprijadi