Setiap manusia memiliki tujuan dalam hidupnya yang digerakkan oleh satu atau beberapa impian. Saat kita kecil, cita-cita menjadi istilah yang begitu akrab didengar dan menjadi harapan akan kehidupan di masa depan.

Setiap anak berhak untuk memiliki cita-citanya, begitupun ia berhak untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Namun, tidak jarang ditemui beberapa kasus “pembunuhan” cita-cita oleh orang-orang terdekat.

Kisah “pembunuhan” cita-cita

Salah satunya adalah kisah yang dibagikan oleh Bambang W Nugroho pada cuitannya di Ttwitter yang berjudul “Ada Oknum Guru yang Membunuh Cita-cita Siswa”. Cuitan ramai diperbincangkan pada laman media sosial sejak 20 Februari 2023. Kisah tersebut adalah pengalaman pribadi yang dialami kepada anaknya pada masa SMP.

Saat itu sang anak mengatakan di kelas bahwa cita-citanya adalah menjadi seorang penyanyi. Lantas sang guru langsung menghakimi cita-cita tersebut dan membandingkan dengan segenap profesi lain seperti dokter, polisi, tentara, guru, dan pilot. Lantas, sejak peristiwa tersebut sang anak jadi mengurungkan niatnya menjadi penyayi bahkan menjadi jarang bermain alat musik.

Cita-citanya “terbunuh” oleh satu perkataan yang seharusnya tidak keluar dari mulut seorang pendidik. Kisah ini hanya sebagian kecil dari sekian kisah yang bernasib sama. Padahal setiap profesi tentu adalah pekerjaan yang mulia selagi dapat memberikan kebermanfaatan bagi diri sendiri dan orang lain.

Perkembangan moral dan konsep diri  

Jika kembali pada kisah sang anak, ia yang masih duduk di bangku SMP sedang berada dalam tahap perkembangan remaja awal. Dari segi perkembangan moral kognitif menurut Jean Piaget, masa remaja berada di tahap kesesuaian interpersonal.

Pada tahap ini anak ingin mendapat penerimaan sosial dari orang sekitarnya. Oleh karena itu, tahap ini menjadi sangat rentan dalam menurunkan kepercayaan diri seorang anak ketika merasa tidak “diterima” karena ini masih sangat mudah terpengaruh oleh lingkungannya.

Inilah yang terjadi pada kisah sebelumnya, sang anak yang dihakimi oleh gurunya merasa cita-cita tidak diterima. Maka, ia pun menjadi tidak percaya diri lagi untuk meneruskan keinginannya menjadi penyanyi dan menjadi enggan bermain alat musik. Konsep diri si anak menjadi berubah karena ingin mencapai kondisi ideal dari informasi yang diperolehnya melalui lingkungan.

Peran penting orangtua

Dalam perjalanan cita-cita seorang anak, lingkungan tentu memegang pengaruh yang begitu besar. Keluarga yang dalam hal ini adalah orangtua memiliki peran yang begitu penting dan akan berdampak pada cita-cita anaknya. Mulai dari menemukan, mengejar, dan memperjuangkan cita-cita tersebut.

Satu hal yang diperlukan oleh seorang anak terkait hal ini, yaitu dukungan penuh dari orangtuanya. Termasuk menjaga hubungan yang baik dengan anak seiring dengan perkembangannya. Berikut ini beberapa hal yang dapat orangtua lakukan dalam membantu anak menemukan cita-citanya. Dimulai dengan membangun konsep diri anak secara positif.

  1. Memelihara hubungan dan menjalin komunikasi yang baik dengan anak.
  2. Turut serta dalam pendampingan untuk memecahkan masalah anak dan membantu anak menemukan identitas dirinya.
  3. Tidak membandingkan anak dengan temannya.
  4. Berikan penghargaan pada perilaku positif yang anak lakukan.
  5. Dorong anak untuk mencari teman dan lingkungan yang baik.
  6. Bantu dan fasilitasi anak untuk mengembangkan hobi dan kemampuannya.
  7. Menyeimbangkan antara pemberian kebebasan dan mengontrol tindakan anak dengan menggunakan otoritas orangtua yang tetap berdasarkan cinta kasih.
  8. Berikan kesempatan bagi anak untuk dapat memilih dan menjelaskan alasannya.
  9. Bangun ruang diskusi secara teratur.

Baca juga: Lika-liku Menemukan Jati Diri