Dalam beberapa tahun terakhir, peran product manager terus meningkat, baik dari sisi permintaan maupun popularitas. Bahkan, berdasarkan data Product Management Insider tahun 2019, jumlah lowongan terkait dengan produk dan data di AS telah tumbuh dengan luar biasa di angka 32 persen dari Agustus 2017 hingga Juni 2019, periode yang cukup singkat.

Tren serupa juga bisa dikatakan terjadi di Indonesia, dengan munculnya berbagai perusahaan rintisan berbasis teknologi. Data Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) mencatat jumlah perusahaan rintisan di Indonesia pada 2018 mencapai 992 perusahaan. Hal ini juga semakin diperkuat dengan bergesernya perilaku konsumen yang mulai mengadopsi produk digital. Perilaku ini semakin diakselerasi oleh pandemi Covid-19 yang membatasi ruang gerak individu.

Meskipun begitu, dapat membuat produk saja tidaklah cukup. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang berlomba-lomba dalam pemutakhiran teknologi, seorang product manager kini dituntut untuk menciptakan produk yang memiliki nilai tambah agar melahirkan diferensiasi yang bukan hanya melekat, tetapi juga solutif. Lalu, bagaimana membuat produk yang baik?

Hal ini menjadi pembahasan awal dalam kelas elektif daring bertajuk “Kickstart: Elevate Your Career as Product Manager” yang dibawakan oleh Adya Danaditya selaku Tech Product Manager Kompas Gramedia pada 28 Agustus lalu.

Dalam pemaparan awal, Adya menjelaskan setidaknya produk yang baik memiliki tiga elemen, yaitu memenuhi kebutuhan konsumen (desirability), mudah dioperasikan dan dapat diandalkan (feasibility), serta mendatangkan keuntungan (viability).

“Produk yang bagus adalah produk yang dapat menggabungkan ketiga elemen ini. Jika berhasil mengombinasikan itu semua, kita nemuin apa yang disebut innovation sweet spot atau product market fit,” paparnya.

 Identifikasi potensi produk dan proses iterasi

Dalam menjaga keseimbangan ketiga hal tersebut, peran product manager menjadi krusial. Kesalahan yang kerap terjadi dalam upaya mencapai ketiganya sering kali disebabkan pilihan untuk condong ke salah satu atau salah dua sisi kriteria dan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak optimal.

“Misalnya kita udah punya produk, terus kita memaksakan (membuat) fitur (dengan anggapan) kayanya dari segi bisnis (fitur tersebut) bisa menghasilkan duit yang banyak. Mindset seperti itu dapat menarik produk ke arah yang salah. Ketiganya harus balance,” jelas Adya.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana seorang product manager dapat menyeimbangkan ketiga elemen tersebut?

Menjawab hal ini, Adya merefleksikan dan membandingkan kembali transformasi product manager. Pada zaman dahulu, cara untuk menemukan keseimbangan dari ketiga elemen tersebut adalah menggunakan metode waterfall yang bersifat linear. Metode tersebut diawali dengan perencanaan (planning), analisis (analysis), desain (design), pengembangan (develop), uji coba (test), dan peluncuran (release).

Once you go down, you can’t go back up. Kalo sudah nyebur, harus ditunggu sampai bawah dulu baru naik lagi. Misalnya kita di fase desain dan (kita) sadar kalo kita melupakan satu faktor di (bagian) analisis, kita gak bisa naik lagi,” jelas Adya dengan menggunakan analogi waterfall.

Namun, cara tradisional tersebut dinilai cukup mahal karena prosesnya yang panjang. Oleh karena itu, kemudian muncul cara yang lebih modern dengan proses iterasi yang dianalogikan dengan mengayuh sebuah sepeda.

“Filosofinya seperti naik sepeda di satu tempat, anggapannya satu kayuh itu satu iterasi (baca: proses perencanaan sampai peluncuran). Di setiap iterasi itu kita (bisa buat) yang simple dulu untuk dilepas ke user dan lihat market-nya seperti apa. Nanti along the way, seperti sepeda, kita bisa mengatur, bisa belok kiri, belok kanan, maju, atau mundur sedikit,” papar Adya.

Keuntungan cara modern ini adalah prosesnya yang lebih lincah (agile) dibanding cara tradisional, dengan tujuan meluncurkan sesuatu secara cepat dan mendapatkan umpan balik (feedback) pengguna terlebih dahulu. Umpan balik inilah yang kemudian akan digunakan untuk memperbaiki produk.

Cara “sepedaan” ini juga dinilai lebih aman dibanding cara tradisional karena proses iterasinya yang dapat diperbaiki sambil berjalan. Misalnya dalam proyeksi rilis produk selama 6 bulan, dapat dirilis 2 minggu per bagian proses iterasi untuk mendapatkan umpan balik sehingga jika terdapat kekurangan dalam 1 proses iterasi dapat langsung diperbaiki.

“Modelnya begitu, kita mencoba rilis lebih cepat dan dapat feedback dari user lebih cepat, karena jika kita berasumsi terlalu banyak, planning terlalu banyak, takutnya giliran sudah rilis, beda sama ekspektasinya.” tutup Adya.

Kognisi adalah platform berbasis edukasi persembahan Kompas Gramedia yang dibangun pada Mei 2019. Kognisi secara periodik juga mengadakan webinar yang terbuka untuk publik. Informasi lebih lanjut mengenai webinar Kognisi selanjutnya bisa langsung dikunjungi di akun Instagram @kognisikg dan situs learning.kompasgramedia.com (khusus karyawan Kompas Gramedia). Selamat belajar, Kogifriends! Stay safe, healthy, and sane!

Penulis: Aurina Indah Tiara; Editor: Sulyana Andikko.