Hei, Cantik!”, “Mau ke mana, Neng?”—Mungkin kamu pernah mendengar kalimat-kalimat seperti ini saat berjalan di trotoar, naik angkutan umum, atau bahkan sekadar lewat di depan sekelompok orang asing. Kalimat tersebut, yang kerap diucapkan dengan nada menggoda, siulan, tatapan vulgar, atau gestur yang membuat perasaan tak nyaman, merupakan bentuk tindakan pelecehan jalanan yang disebut catcalling

Sayangnya, catcalling masih sering dianggap angin lalu atau bahkan dianggap wajar. Padahal, tindakan ini adalah bentuk pelecehan seksual yang nyata dan bisa berdampak serius pada kondisi mental korbannya.

Apa Itu Catcalling?

Catcalling adalah salah satu bentuk pelecehan seksual yang terjadi di ruang publik, seperti jalanan, halte, kendaraan umum, atau tempat umum lainnya. Biasanya, tindakan berupa komentar, siulan, teriakan, atau gestur fisik yang bernada seksual atau merendahkan, yang diarahkan kepada seseorang tanpa persetujuan mereka. Catcalling umumnya terjadi kepada perempuan, tetapi juga bisa dialami oleh laki-laki dan kelompok rentan lainnya.

Meski sering dibungkus dengan “pujian”, catcalling bukanlah sanjungan atau bentuk keramahan. Tindakan tersebut merupakan cara pelaku untuk menunjukkan dominasi, dan bukan untuk membuat seseorang merasa dihargai. Bahkan, tak jarang catcalling bisa menjadi awal dari pelecehan yang lebih serius.

Contoh Catcalling

Catcalling bisa berupa tindakan verbal maupun non-verbal, seperti:

  • komentar yang menimbulkan rasa tak nyaman seperti, “Hai, Cantik!”, “Mau ke mana, Neng? Sini, Abang anterin,” atau “Senyum dong, masa jutek banget?”;
  • siulan, tatapan tajam, atau gestur seperti menggigit bibir, menjulurkan lidah, atau melambaikan tangan dengan cara yang tidak sopan;
  • mengikuti korban, memblokir jalan, atau bahkan menyalip lalu melambatkan kendaraan; dan
  • mengucapkan kata-kata berbau seksual yang merendahkan.

Apapun bentuknya, jika membuat seseorang merasa tidak nyaman, takut, atau terintimidasi, tindakan tersebut bukanlah basa-basi ramah, melainkan pelecehan.

Berakar dari Budaya Patriarki

Catcalling bukanlah budaya pelecehan jalanan yang berdiri sendiri. Ada banyak faktor sosial dan budaya yang membuat perilaku ini kerap dijumpai di ruang publik. Faktor-faktor tersebut tak serta-merta membuat tindakan ini bisa dibenarkan. Namun, penting pula untuk memahami akar persoalannya: budaya patriarki.

Menurut penelitian, catcalling merupakan salah satu dampak dari budaya patriarki, sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan dalam struktur kekuasaan dan kehidupan sehari-hari. Dalam sistem ini, tubuh perempuan seringkali diposisikan sebagai objek yang bebas dikomentari atau dinilai di ruang publik.

Budaya patriarki menciptakan ketimpangan gender dengan memosisikan perempuan sebagai pihak yang lebih lemah dan kurang layak memiliki peran setara dengan laki-laki. Dalam konteks ini, catcalling kerap menjadi cara untuk menunjukkan dominasi.

“Hanya Bercanda, Kok!”

Meskipun pelaku kerap berlindung di balik dalih “pujian” atau “candaan”, komentar atau siulan yang dilontarkan pelaku sejatinya membuat korban merasa tidak nyaman atau inferior. Hal ini merupakan bentuk nyata kontrol atas tubuh orang lain.

Sayangnya, pola pikir sempit dan rendahnya literasi gender membuat banyak orang menganggap catcalling sebagai candaan atau hal biasa dalam pergaulan laki-laki. Apa yang tampak lucu bagi pelaku bisa sangat merendahkan bagi korban. Selain itu, minimnya sanksi hukum dan sikap diam dari lingkungan membuat perilaku ini terus berlangsung tanpa konsekuensi.

Apa Dampaknya?

Catcalling bukan hanya soal komentar iseng. Dampaknya bisa sangat serius, terutama jika terjadi berulang kali. Berdasarkan penelitian, tindakan catcalling membuat korban merasa tak nyaman dan menyebabkan mereka menyalahkan diri sendiri secara psikologis. 

Catcalling dapat menyebabkan korban merasa takut, cemas, dan terintimidasi di ruang publik, serta menurunkan rasa percaya diri. Lebih jauh lagi, tindakan ini juga berpotensi menimbulkan trauma hingga gangguan kecemasan pada korban. Korban juga bisa jadi akan cenderung membatasi aktivitas dan mobilitas demi menghindari situasi serupa.

Banyak korban catcalling juga memilih untuk mengubah cara berpakaian, memilih rute jalan yang berbeda, bahkan membatasi keluar rumah demi menghindari pelecehan—sekalipun itu sama sekali bukanlah salah mereka.

Bagaimana Menyikapi Catcalling?

Jika kamu mengalami catcalling, berikut beberapa hal yang bisa kamu lakukan:

  • bersikap tegas, tetapi tenang. Jika memungkinkan, kamu bisa mengatakan dengan lantang, “Itu tidak sopan!” atau “Berhenti ganggu saya!”;
  • segera pindah ke tempat yang aman atau cari orang yang bisa dimintai bantuan;
  • catat atau dokumentasikan kejadian bila memungkinkan, terutama jika kamu berniat melaporkannya; dan
  • laporkan ke pihak berwenang, terutama jika kamu merasa diikuti atau diancam.

Satu hal yang paling penting adalah jangan menyalahkan diri sendiri atas pelecehan yang terjadi. Kamu tidak salah hanya karena berjalan di tempat umum atau berpakaian tertentu.

Harus Dihentikan

Catcalling bukanlah hal sepele, melainkan bentuk pelecehan yang nyata dan bisa meninggalkan luka mendalam. Edukasi dan kesadaran sosial sangat penting untuk menciptakan ruang publik yang lebih aman untuk semua orang, terutama perempuan.

Kalau kamu pernah mengalami catcalling dan merasa terganggu secara psikologis, jangan ragu untuk berbicara dengan psikolog atau tenaga profesional. Kesehatan mentalmu penting dan kamu berhak merasa aman.

Baca juga: Jangan Emosi! Begini Cara Membantu Korban Kekerasan Seksual