Pelestarian bangunan peninggalan sejarah atau biasa disebut bangunan pusaka sejatinya tidak dilakukan hanya dengan asal pugar agar terlihat muda kembali. Ada proses panjang yang harus dilalui. Inilah tugas dari Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), sebelum pemugaran dimulai.
“Ibaratnya, PDA menjadi semacam laboratorium sebelum dokter melakukan tindakan penanganan kesehatan. Kami harus mencari gejalanya, kemudian dokter bisa memberikan resep yang pas untuk pasien. Dalam hal ini, kami yang mendiagnosis, arsitek bertindak sebagai dokter yang memperbaiki bangunan,” ujar Executive Director PDA Ria Febrian.
Kegiatan dokumentasi PDA tidak sekadar mengarsipkan, tetapi juga melakukan pengukuran ulang bangunan, menggambar ulang teknis bangunan, melakukan riset arsitektur hingga sejarah bangunan itu, sampai membuat panduan konservasi. Dari situ, dokumen tersebut digunakan oleh arsitek untuk memugar bangunan. Hal ini dijelaskan oleh Executive Director PDA lainnya, Nadia Rinandi.
“Kami sudah banyak melakukan riset bangunan pusaka, tidak hanya di Jakarta, tetapi juga hingga Indonesia. Kalau untuk di Jakarta ada sudah banyak. Antara lain Candra Naya, Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Museum Nasional, dan rumah Raden Saleh. Semuanya berbentuk data dan gambar yang bisa digunakan kembali untuk kepentingan konservasi atau pendidikan,” ujar Nadia.
PDA sejatinya hanya melakukan riset, tetapi banyak bangunan pusaka di Indonesia ternyata tidak memiliki arsip atau gambar asli. Misalnya, Gereja Immanuel di Jakarta. Bangunan peninggalan Belanda itu gambar aslinya tidak ada. PDA harus melakukan pengukuran dan menggambar ulang. Sementara itu, Bank Indonesia (BI) justru memiliki arsip yang sangat lengkap yang bahkan Arsip Nasional pun tidak punya.
PDA pun harus juga mengidentifikasi bagian-bagian bangunan yang asli dan yang sudah mengalami perubahan. Misalnya, dulu penambahan jendela atau pintu. Kalau zaman sekarang, ada tambahan AC atau tangga darurat. Ini semua harus dilakukan pendataan dulu. Hal ini juga menjadi penting karena saat sebuah bagian, misalnya lantai mengalami pecah, PDA bisa menyarankan kepada arsitek atau kontraktor untuk menggunakan material yang sama.
“Jadi, dalam pemugaran, sering kali kami harus bekerja sama dengan banyak pihak, misalnya arkeolog terkait pengambilan sampel material yang kemudian dibawa ke laboratorium di Borobudur, Jawa Tengah, untuk mengetahui komposisi asli materialnya. Jadi, pemugarannya bisa menggunakan material yang sama,” ujar Ria.
Kerja sama tidak sebatas dengan bidang arkeologi, tetapi juga saat ekskavasi. PDA harus mengetahui material fondasi, kandungan tanahnya. Mereka juga harus bekerja sama dengan ahli struktur untuk mengecek kondisinya, misalnya dengan uji pembebanan. Jadi, Ria menambahkan, pekerjaannya mencakup multidisiplin.
“Bahkan, saat kami mendapatkan penugasan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada periode 2007–2010 untuk melakukan dokumentasi seluruh benteng bersejarah di Indonesia. Kami sampai harus melibatkan ahli bahasa karena jika melihat dari beberapa arsip terkait, ada bagian-bagian dari benteng ini yang belum punya bahasa Indonesianya,” ujar Nadia.
Dalam mengerjakan pengukuran, mereka kini mengaku terbantu dengan teknologi. Nadia bercerita, dulu pengukuran harus dilakukan dengan cara manual. Pada dokumentasi gedung Kementerian Keuangan, misalnya, PDA bekerja sama dengan pencinta alam karena harus menggunakan tali temali. Sekarang, mereka sudah bisa menggunakan alat 3D scan yang kemudian bisa langsung masuk ke dalam CAD.
“Setiap bagian menjadi lebih mudah dipetakan. Gejala kerusakan bisa diidentifikasi dan kemudian diadopsi untuk dibuat perencanaannya oleh arsitek,” ujarnya.
Riset mendalam
Bersinggungan dengan ilmu yang lain, PDA pun tidak hanya berbicara dari sisi arsitektur. Mereka juga melakukan pencatatan hingga mencari tahu sejarah dari bangunan itu. Nadia bercerita, PDA sampai memiliki catatan sejarah atau peristiwa penting apa yang ada di bangunan itu dan siapa saja riwayat pemiliknya.
“Ini menjadi penting, terutama saat ingin mengajukan menjadi bangunan cagar budaya. Seluruh data itu yang harus diserahkan kepada tim ahli cagar budaya sebelum akhirnya bisa diputuskan menjadi cagar budaya atau tidak,” ujarnya.
Sama seperti melakukan riset benteng seluruh Indonesia. Sebanyak 442 benteng diriset dan kemudian dijadikan buku dan pameran. PDA juga bersama Setiadi Sopandi pelan-pelan melakukan pengarsipan karya-karya Silaban yang dihimpun dalam situs www.arsitekturindonesia.org.
Situs ini merupakan inisiatif dari PDA agar setiap orang yang membutuhkannya bisa mengaksesnya. Situs ini sendiri berisikan karya arsitektur sesudah kemerdekaan hingga masa sekarang. Banyak juga arsitek muda Indonesia yang ikut menyumbangkan karyanya untuk didokumentasikan dan dipublikasikan di situs ini.
“Saya melihatnya, ini sangat dibutuhkan, terutama bagi mahasiswa. Seperti saya dan Ria dulu yang susah sekali mencari data soal arsitektur. Lewat situs ini, mahasiswa dari luar daerah tak perlu lagi datang jauh-jauh ke Jakarta hanya untuk melihat arsip. Memang situs ini belum sepenuhnya selesai, tetapi sudah bisa diakses. Pelan-pelan akan terus kami lengkapi,” ujarnya.
PDA juga sering ditugaskan oleh pemerintah untuk memberikan pelatihan atau seminar terkait konservasi. Mereka pernah melakukan riset tentang sejarah perumahan sejak era kolonial. Selain itu, pada 2007 hasil riset itu diolah menjadi buku, pameran, dan film.
“Kami juga pernah mengadakan pelatihan kepada staf PU untuk konservasi bangunan. Hal ini agar konservasi atau pembangunan gedung atau landmark lainnya bisa sejalan, apalagi saat ingin membangun bangunan di dekat bangunan bersejarah. Supaya bisa selaras,” pungkas Nadia. [VTO]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 Mei 2017
Foto-foto: dok.iklan Kompas/Antonius SP dan Pusat Dokumentasi Arsitektur.