Bukan saatnya lagi berpikir anak tak boleh ikut campur dalam masalah keuangan. Sebaliknya, anak harus dikenalkan dan dilibatkan dalam mengelola keuangan sejak ia masih kecil. Banyak keuntungannya. Mereka berlatih tanggung jawab, belajar matematika secara langsung, sekaligus dapat berinteraksi dengan orangtua secara lebih intens.

Ratih Ibrahim, psikolog dan Direktur PT Personal Growth, berbagi cerita tentang pentingnya mengajari anak mengelola keuangan serta bagaimana ia sendiri menerapkannya kepada anak-anaknya. Seperti dituturkannya, seluruh proses belajar, termasuk pengelolaan keuangan, adalah proses pembentukan perilaku yang nantinya akan menjadi permanen pada anak. Pengondisian belajar ini dapat dimulai pada usia yang sangat dini.

Anak butuh diajarkan mengelola keuangan secara benar. Pada umumnya, bentuk pengelolaan keuangan ini adalah menabung, berhemat, dan membelanjakan uang dengan hemat. “Berhemat dan membelanjakan uang dengan bijak itu bisa berbeda. Kalau berhemat, kan, membeli yang relatif murah. Kalau bijak, itu bisa saja seseorang membeli satu barang yang harganya cukup mahal, tetapi kualitasnya bagus karena memang perlu. Nah, itu kan bukan boros,” ujar Ratih, Selasa (22/7/2014).

Akar pelajaran pengelolaan keuangan mulai dari berhemat. Perilaku hemat berarti bisa menunda keinginan konsumtif dan kemudian menyimpan uang. Sejak kecil, Ratih mengajari anak untuk mengonsumsi segala sesuatu secukupnya. “Sejak umur 1 tahun, anak saya dibiasakan untuk makan secukupnya. Mengambil secukupnya. Membeli mainan satu saja,” tutur Ratih.

Ia melanjutkan, ketika anak mulai berumur 2 tahun misalnya, Ratih mengajari untuk memilah barang berdasarkan harga. Jika membeli mainan, anak diminta untuk mengambil barang yang harganya maksimal lima digit.

“Itu kan paling besar tidak sampai Rp 100 ribu. Saya tidak bilang yang murah karena konsep murah itu abstrak dan relatif. Tapi, saya bilang pada anak, barang dengan harga segitu yang Mama bisa bayar,” cerita Ratih. Jika cara-cara semacam itu bisa dilakukan dengan konsisten, anak memang masih akan tetap punya keinginan untuk berbelanja, tetapi nafsu itu bisa ia kendalikan.

Uang saku

Strategi berikutnya diterapkan ketika usia anak sudah lebih besar. Sistem uang saku. “Mulai usia SD, anak sudah bisa diberikan uang saku, misalnya satu hari Rp 5.000. Kalau tidak terpakai, uang ini bisa masuk celengan,” ujar Ratih. Baginya, hal yang tak kalah penting adalah membawakan bekal ke sekolah agar anak tidak terkondisikan untuk jajan. “Selain sehat, ia bisa lebih berhemat,” kata Ratih.

Pada akhir minggu, anak boleh menilik jumlah yang telah ia tabung. Uang itu bisa ia gunakan untuk membeli barang yang harganya sesuai. “Jadi, anak tahu gunanya menyimpan. Semakin lama dan semakin besar ia menabung, semakin besar pula nilai barang yang bisa ia peroleh,” ungkap Ratih.

Nilai uang saku bisa ditambah seiring dengan usia anak yang semakin dewasa. Misalnya 1 minggu Rp 50 ribu untuk anak SMP dan 1 bulan Rp 300 ribu untuk SMA. Di sini, orangtua juga melatih anak dengan tanggung jawab yang lebih besar.

Ada hal menarik lain yang diterapkan Ratih pada anak-anaknya. “Jika butuh tambahan uang, mereka harus bekerja,” ujarnya. Yang ia maksud adalah bekerja di rumah, di luar pekerjaan rutin seperti membereskan kasur atau mencuci piring.

“Mereka bisa mencuci mobil, menyapu seluruh rumah, atau membantu saya menyiapkan presentasi. Semua ada harganya,” tutur Ratih sambil tertawa. Dengan cara yang kreatif dan menyenangkan, ia mengajarkan lagi pada anak hal baru, bekerja. Anak makin bertanggung jawab, keluarga pun makin harmonis. [NOV]

Foto dokumen Shutterstock.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 23 Juli 2014