Echa terlihat gundah. Berulang kali remaja putri yang baru duduk di bangku sekolah menengah pertama tersebut memainkan ujung jemarinya saat ditanya rencana kepergiannya ke Korea. Kegundahannya bukan lantaran ini akan jadi perjalanan pertamanya ke luar negeri, melainkan lebih karena ia akan melihat langsung idolanya, seorang anggota boyband yang akhir-akhir ini tengah digandrungi.
Seperti laki-laki lain di Negeri Ginseng, sang idola tersebut harus mengikuti program wajib militer selama dua tahun. Tepat pada Juli 2017, ia akan menuntaskan kewajiban tersebut. “Ia akan selesai ikut wajib militer pada Juli mendatang. Oleh karena itu, saya mau datang ke Korea, ke tempat ia menjalankan wajib militernya dan menunggu untuk menyambut,” kata Echa.
Echa yang berharap bisa melihat langsung idolanya tidaklah sendiri. Masih ada rekan-rekan lain, baik sepantar maupun yang usianya terpaut jauh, yang mau melakukan hal serupa. Seperti Anya, yang meski ingin melihat langsung lead dancer boyband tersebut, tetapi ia terpaksa mengurungkan niat tersebut lantaran jatah cuti dari kantornya sudah habis. “Kalau saja bisa dapat cuti, saya pun mau ke Korea dan menunggu di sana,” kata Anya.
Garap wisata
Dalam beberapa tahun terakhir, Korea menjadi destinasi pariwisata yang populer di Asia, dengan industri hiburan (musik dan film) secara tidak langsung menjadi pilar penyokong utamanya. Kalau dulu Pulau Nami acap dipromosikan menyusul kepopuleran Winter Sonata, sekarang ada lagi ke pemecah gelombang di Pantai Yeongjin di Jumunjin, Provinsi Gangwon, yang menjadi salah satu lokasi syuting Goblin: The Lonely and Great God.
Di balik kepiawaian Korea menggarap paket wisata, ada perjuangan panjang. Seperti dikutip dari beberapa fan site, seorang performer harus melewati pelatihan panjang sebelum memulai debutnya.
Pelatihan yang dimaksud tidak hanya menyanyi dan akting, tetapi juga menari, menguasai bahasa asing, dan lain sebagainya. Pelatihan ini pun memakan waktu yang berbeda, bahkan ada yang mencapai tujuh tahun. Semua ini tergantung pada sistem penilaian dari manajemen atau agensi, apakah seorang penampil itu sudah layak untuk unjuk gigi atau belum.
Begitu nama penampil meroket, ini menjadi “merek” untuk mendongkrak kunjungan ke Negeri Ginseng. Tidak hanya ke lokasi syuting, tetapi juga tempat-tempat penjualan suvenir resmi yang diburu banyak penggemar.
Apa yang dilakukan Korea terhadap industri hiburan dan wisatanya berbuah manis. Dalam rilisnya, Korea Tourism Organization (KTO) melansir jumlah wisatawan ke Negeri Ginseng terus naik sepanjang tahun, yang tahun lalu adalah saat kunjungan tertinggi yang menembus 17 juta kunjungan turis.
Sementara itu, mengutip dari www.visitkorea.or.id, jumlah orang yang bertandang ke Korea dari Asia Tenggara meningkat secara signifikan. Tahun lalu, kunjungan wisatawan dari 6 negara di Asia Tenggara meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Misalnya, Vietnam meningkat 55 persen dan Indonesia meningkat 53,2 persen.
Direktur KTO Jakarta OH Hyonjae mengatakan, latar belakang meningkatnya kunjungan wisatawan Asia Tenggara adalah penyebaran Korean Wave (hallyu), khususnya dengan kepopuleran drama Korea.
“Konsumsi terkait pun meningkat dan minat terhadap pariwisata Korea juga semakin besar. Wisatawan Asia Tenggara yang berkunjung ke Korea untuk melihat salju pada musim dingin, yang tidak bisa dilihat di Asia Tenggara, bermain ski, atau melakukan foto pernikahan, telah menjadi hal yang biasa dan rutin saat ini,” kata Hyonjae.
Indonesia
Kepiawaian Korea menggarap industri musik dan hiburan menjadi salah satu penyokong utama pariwisatanya mengingatkan bahwa kita pun punya modal dan kemampuan yang serupa. Misalnya, Kota Ambon, Maluku, yang pada akhir Oktober 2016 dicanangkan sebagai menuju kota musik dunia. Alasannya, kota ini tak henti melahirkan banyak potensi, baik musisi maupun penyanyi lintas generasi dengan prestasi hingga tingkat internasional.
Dalam acara pencanangan tersebut, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf seperti dimuat harian ini pada 31 Oktober 2016 mengatakan, ”Banyak orang berasal dari Ambon yang sukses sejak dulu di bidang musik dan seni suara. Namun, belum ada kesatuan tekad yang terkoordinasi. Kehadiran Bekraf untuk mengoordinasi dan mengakselerasi agar potensi ini menjadi kekuatan besar untuk mengantar Ambon menjadi kota musik.”
Triawan mencontohkan K-Pop di Korea Selatan yang mendunia. Sekadar membandingkan, pada 2001, tidak ada kota di Korea Selatan yang punya potensi musik dan kemampuan tarik suara seperti Ambon saat ini.
Oleh karena itu, ia optimistis Ambon bisa sejajar dengan 15 kota lain di dunia yang kini sudah ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNESCO) sebagai Kota Musik Dunia. Akankah optimisme tersebut mewujud nyata? Semoga. [ASP]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 Mei 2017