Kehangatan perayaan Imlek pada Jumat (16/2) masih terasa hingga hari ini. Secara tradisi, ragam selebrasi terus berlangsung hingga hari kelima belas, yang menjadi hari penutup. Puncak perayaan tahun baru China ini pun diwarnai berbagai atraksi yang tak kalah memikat, bahkan berhasil menjadi magnet bagi wisatawan dunia.
Di Indonesia, puncak festival Tahun Baru China itu lebih dikenal dengan Cap Go Meh, yang diambil dari dialek Hokkian. Menurut tradisi, perayaan Cap Go Meh dilakukan untuk memberi penghormatan pada Dewa Thai Yi, dewa tertinggi pada masa Dinasti Han (206 SM–221M). Pada masa itu, upacara Cap Go Meh dilakukan secara tertutup, hanya untuk kalangan istana.
Upacara ini harus dilakukan pada malam hari. Untuk memberi penerangan, disiapkan lampion berwarna-warni yang akhirnya menjadi pelengkap utama dalam perayaan Cap Go Meh. Setelah Dinasti Han berakhir, perayaan ini mulai dirayakan oleh masyarakat umum secara luas. Setiap orang dari segala usia memadati sudut-sudut jalan dan merayakan hari puncak perayaan Imlek ini.
Di era modern, bentuk lampion kian variatif. Lampion ini pun dimaknai sebagai simbol harapan. Melepaskan yang lalu dan menapaki jejak langkah baru di tahun baru. Warna lampion yang berwarna merah menjadi simbol keberuntungan. Itu sebabnya, Cap Go Meh juga dikenal dengan sebutan Festival Lampion. Istilah ini lebih populer digunakan di negara-negara lain.
Malam cinta
Perayaan Cap Go Meh di Indonesia sendiri begitu identik dengan kota Singkawang, di Kalimantan Barat. Memiliki predikat “Kota Seribu Kelenteng”, Singkawang menjadi tempat perayaan Cap Go Meh terbesar di Indonesia dengan menampilkan berbagai atraksi spektakuler. Tahun ini bahkan menembus beberapa rekor baru, salah satunya dengan akan menampilkan 15 ribu lampion dan diikuti lebih dari 900 tatung.
Parade seni kuno tatung yang tahun ini dihelat pada 2 Maret 2018 selalu menjadi atraksi yang dinanti-nanti kala merayakan Cap Go Meh di Singkawang. Ritual tatung bertujuan untuk mengusir kemalangan sepanjang sisa tahun dan menolak roh jahat. Setiap tahun, turis domestik maupun mancanegara pun memadati sudut-sudut kota, melebur dengan warga lokal, kian menghangatkan suasana di tengah atmosfer persaudaraan dan kekeluargaan yang kental.
Sementara itu, di China, Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Taiwan, perayaan hari kelima belas ini kerap diartikan layaknya hari Valentine versi tradisi China. Kaum perempuan lajang akan menuliskan nomor telepon mereka di jeruk mandarin yang dilemparkan ke sungai atau danau. Nantinya, jeruk-jeruk itu akan diambil oleh kaum laki-laki yang juga masih lajang lalu menyantapnya. Rasa jeruk yang disantap menjadi isyarat hubungan cinta yang mungkin terjadi. Rasa jeruk yang manis menandakan nasib baik, sementara rasa masam mengartikan sebaliknya.
Munculnya makna cinta ini bisa dirunut kembali pada masa peradaban kuno di China, yang tidak membolehkan perempuan keluar rumah dengan bebas. Namun, khusus pada malam terakhir perayaan tahun baru Imlek ini, mereka dapat berjalan-jalan dengan bebas, ikut menyalakan lampion, dan berinteraksi dengan kaum pria. Dan, muncullah ragam kisah romantis yang diyakini sebagian orang sebagai perayaan Valentine ala masyarakat China. [*/ADT]
Foto – foto dokumen Shutterstock.com
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 26 Februari 2018