Pak Beno merupakan seorang kolektor tanaman bonsai. Di rumahnya, ada banyak pohon kerdil dengan bentuk unik dan dilengkapi pot-pot cantik. Namun, bagi Wikan dan teman-temannya, Pak Beno sosok yang galak dan menyeramkan. Biasanya, Pak Beno akan mengusir dan memarahi siapa saja yang bermain di sana.
Kali ini, Wikan bermain di sana, benar saja, Pak Beno sudah menampakkan wajahnya yang galak.
“Hei, hati-hati kalau bermain bola di sini, ya. Jangan sampai bola kalian merusak tanamanku,” kata Pak Beno.
Namun, tidak ada yang menggubris perkataan Pak Beno. Wikan dan yang lain tetap asyik bermain bola. Sampai tiba-tiba…
“Prang!!”
Terdengar suara itu saat bola yang tadinya berada di kaki Wikan sudah terbang melesat memasuki pekarang rumah Pak Beno. Semua anak saling bertatapan dan langsung berlari ketakutan. Wikan pun langsung berlari pulang. Jantungnya berdegup sangat kencang.
“Aduh, aku pasti sudah memecahkan pot milik Pak Beno,” gumamnya.
Ingin rasanya ia tidak mengakui perbuatannya itu, tetapi Wikan merasa bersalah. Ia berpikir sejenak. Kebetulan di meja belajarnya ada celengan yang telah ia bongkar. Rencananya, ia akan membeli mainan dari tabungannya itu.
Tanpa pikir panjang, Wikan mengambil uang tabungannya dan buru-buru keluar menuju rumah Pak Beno. Ia lebih memilih menggunakan uang tabungannya untuk mengganti pot milik Pak Beno.
Jantungnya berdegup sangat kencang saat ia sampai di depan rumah Pak Beno. Apalagi saat ia berhadapan langsung dengan Pak Beno.
“Pak, maaf saya tidak sengaja merusak pot Bapak saat bermain bola tadi,” kata Wikan gugup.
“Ini, Pak. Hanya segini uang tabungan yang saya miliki. Semoga cukup untuk mengganti pot Bapak. Maafkan saya, Pak Beno,” kata Wikan tertunduk menyesal.
Pak Beno hanya terdiam. Ia kemudian menyentuh pundak anak itu. “Sudah simpan saja uang tabunganmu itu. Yang terpenting kamu sudah berani berkata jujur dan berusaha bertanggung jawab atas perbuatanmu. Sudah tidak apa-apa, Bapak memaafkanmu. Lain kali hati-hati, ya.”
Wikan pun akhirnya pulang dengan hati lega. Dengan sedikit keberanian untuk berkata jujur, hatinya menjadi kembali tenang. Ia pun dapat membeli mainan kesukaannya dengan uang tabungannya tadi. Dengan begitu, setiap ia melihat mainan kesukaannya nanti, ia akan merasa bangga karena mainan itu adalah buah kejujuran dari perbuatannya. *
Penulis: Meutia Mirzananda
Pendongeng: Paman Gery (Instagram: @paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita