Sekolah Lintang mengajak murid-murid kelas enam mengunjungi sebuah desa unik di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yaitu Desa Wae Rebo.
Setelah hampir seharian menempuh perjalanan panjang dan melelahkan dari Labuan Bajo, sore ini, Lintang dan teman-temannya tiba di Desa Wae Rebo. Desa ini terletak di ketinggian 1.200 meter. Perlu perjuangan mencapai desa ini, bahkan berjalan kaki mendaki jalan setapak kira-kira 7 kilometer.
“Selamat datang di Desa Wae Rebo, anak-anak. Selamat menikmati keindahan desa tertinggi di Indonesia. Perkenalkan, saya Sapri, tetua adat Desa Wae Rebo yang akan menemani kalian selama di sini,” ucap Pak Sapri dengan ramah.
“Saya Lintang, Pak, dan ini teman-teman saya dari SD Alam Insan Ceria,” sapa Lintang menyalami Pak Sapri diikuti semua temannya, dan Bu Dewi, guru pendamping mereka.
Sambil berjalan menuju penginapan, Pak Sapri bercerita asal usul Desa Wae Rebo. Anak-anak bersemangat mendengarnya.
“Desa ini ditemukan oleh pelayar dari Minangkabau bernama Empo Maro. Kala itu, Empo Maro berlayar dari Pulau Sumatera hingga ke Labuan Bajo. Empo Maro membuat permukiman di sini,” cerita Pak Sapri.
Benar kata Bu Dewi bahwa masyarakat Desa Wae Rebo dikenal dengan keramahannya. Sebelum berangkat, Bu Dewi berpesan kepada murid-muridnya untuk selalu sopan dalam berucap dan bertingkah laku. Kata Bu Dewi, masyarakat di Desa Wae Rebo masih menjunjung tinggi adat istiadat daerah mereka.
“Bangunan berbentuk kerucut itu apa Pak Sapri?” tanya Lintang menunjuk tujuh bangunan seragam yang berjejer rapi.
“Bangunan ini merupakan rumah yang dihuni oleh masyarakat Desa Wae Rebo. Rumah yang masing-masing memiliki lima lantai ini memiliki filosofi mendalam, lho,” terang Pak Sapri sambil membuka pintu salah satu rumah.
“Wah, bagus ya pak, tapi kenapa harus terdiri atas lima lantai?” kali ini Nina, salah seorang teman Lintang yang bertanya.
“Jadi, masing-masing lantai di rumah ini memiliki ukuran dan fungsi yang berbeda. Ada ruangan khusus tempat berkumpul, menyimpan bahan makanan, beribadah, dan fungsi lainnya. Rumah ini diberi nama Mbaru Niang dan hanya berjumlah tujuh rumah,” papar Pak Sapri.
Hari beranjak malam, Lintang dan teman-teman menikmati makanan yang disuguhkan oleh istri Pak Sapri. Ada se’i makanan khas Labuan Bajo yang terbuat dari daging sapi asap, rumpu rampe atau tumisan aneka macam jenis sayur, ikan bakar segar lengkap dengan sambalnya, kolo nasi bakar khas Labuan Bajo, serta teh hangat beraroma gula aren asli Nusa Tenggara. Sungguh nikmat semuanya.
Lintang dan teman-temannya merasa bersyukur, mendapat kesempatan mengunjungi Desa Wae Rebo yang menarik, dan dihuni oleh orang-orang ramah seperti Pak Sapri dan istrinya.*
Penulis: Yuli Susanthi
Pendongeng: Paman Gery (ig: paman_gery)
Ilustrasi: Regina Primalita