Beberapa dekade terakhir, para peneliti di bidang edukasi dan psikologi anak menemukan bukti signifikan adanya kebutuhan bermain dalam kehidupan anak-anak. Selain terasa menyenangkan, bermain dapat memberikan manfaat lain. Bahkan, bermain ikut memberikan kontribusi untuk perkembangan otak yang tepat.

Itulah kekuatan bermain paparan Dr Rachel E White dalam rangkuman riset berjudul “The Power of Play: A Research Summary on Play and Learning”. Rachel meraih gelar doktor bidang Psikologi Anak di Institute of Child Development, University of Minnesota. Hasil riset miliknya mengenai manfaat bermain dan imajinasi bagi anak usia dini dikumpulkan pada 2012. Buah pemikirannya pun masih relevan hingga saat ini.

Pentingnya kebutuhan bermain juga diakui oleh Siti Syarifah (35) yang mengalami kegelisahan sewaktu anak sulungnya masih berusia 2 tahun. “Saya sadar bahwa si kecil kala itu mempunyai kebutuhan bergerak yang tinggi. Namun, kesibukan masih sering jadi alasan pribadi. Ditambah lagi, saya tinggal di area hunian yang tak banyak anak kecil dan kekurangan lahan bermain. Kehidupan masyarakat urban menjadi tantangan tersendiri. Tidak ada waktu, tidak ada tempat, dan tidak ada teman bermain. Komplet!” cerita perempuan yang akrab dipanggil Rifah ini.

Namun, Rifah tak ingin berlama-lama mengutuk keadaan. Ia justru menemukan cara unik sebagai solusi, yaitu play date. Maret 2014. Inilah pertama kalinya Rifa mengajak 7 keluarga untuk play date di rumah.

“Bermain secara terstruktur” jadi istilah yang dipakai saat membujuk para tetangga terdekat bergabung. Ia tak ingin play date disalahartikan lagi menjadi momen me time para orangtua. Anak-anak dibiarkan main sendiri, sedangkan orangtua sibuk menyimak layar ponsel.

“Setelah bermain, ternyata mereka sangat menikmati. Dengan bermain, terjalin koneksi antara anak dan orangtua. Jika kita tak bisa mengikat dengan hati, ya anak juga tidak akan merasa terikat. Kalau saat ini tidak terikat, ikatan akan semakin jauh pula ketika buah hati tumbuh besar nanti,” jelas Rifah.

Ayo Main

Bermula dari kegelisahan pribadi, Rifah menghadirkan Ayo Main, komunitas yang memiliki misi mengajak keluarga untuk kembali bermain dan menjadikannya sebagai fokus belajar. Bermain sebagai pengikat semua anggota keluarga. Sejalan dengan itu, Ayo Main juga memiliki visi menjadikan aktivitas bermain sebagai kurikulum pelajaran, terutama bagi anak-anak usia balita.

Ayo Main lebih berbasis gerakan sosial. Di setiap kegiatan, Rifah dibantu oleh Kak Ririn yang berlatar profesi sebagai psikolog dan Kak Dayat. Tak lupa juga peran para Kakak Main, sebutan untuk relawan yang bergabung. Tim berpindah-pindah tempat, mengajak keluarga bermain. Mulai dari Tangerang, Jakarta, dan Bandung.

Dengan memanfaatkan lokasi luar ruang, Ayo Main mengadopsi permainan tradisional, memodifikasi, serta membuat permainan sesuai dengan kebutuhan peserta. Siapa saja yang telah mengikuti kegiatan Ayo Main dipersilakan melanjutkan atau membuat acara bermain di tempat tinggalnya sendiri.

“Ayo Main ingin mengembalikan fungsi bermain dalam keluarga karena ikatan orangtua dan anak akan lebih kuat melalui kegiatan bermain. Seiring berjalannya waktu, kami juga menyadari bahwa lewat bermain, beberapa nilai kehidupan pun bisa ditanamkan. Misal, nilai berbagi. Memang hal itu tidak akan berdampak langsung, tetapi perlahan-lahan akan tertanam di alam bawah sadar anak-anak,” ujar Kak Dayat yang menangani penguatan cerita saat aktivitas storytelling.
Selama 3 tahun berproses, Ayo Main pun terus mengembangkan diri. Tak lagi sekadar menjadi “mak comblang” bagi ibu dan anak lewat play date. Setahun belakangan ini Rifa dan kawan-kawan mulai merumuskan beberapa hal sehingga langkah semakin terarah. Salah satunya, rumusan 3 proyek.

Rumusan proyek pertama, Ayo Main Dedek Batita yang diperuntukkan bagi para orangtua. Hal yang ditanamkan, kesadaran bahwa orangtua dapat membuat mainan sendiri di rumah. Permainan pada proyek pertama ini lebih mengandalkan audio, visual, dan keseimbangan tubuh agar anak-anak lebih mudah menangkap pesan yang disampaikan.

 

Proyek kedua, Ayo Main dengan Ayah. Kakak-kakak Main secara khusus mengadakan permainan yang melibatkan para ayah dan anak dengan menghadirkan momen berkesan. Kegiatan ini diharapkan mampu menghasilkan waktu berkualitas bagi kedua pihak. Jangan sampai kesibukan mencari nafkah masih menjadi alasan para ayah untuk tidak mengajak anak bermain.

Sementara itu, proyek ketiga adalah Ayo Main dengan Tetangga yang menyasar keluarga kecil dan masyarakat modern. Bagaimana pun, lingkungan sekitar bertugas menjadi panutan dan penjaga sekaligus tempat bermain. Inilah yang harus disediakan oleh tetangga. Dengan demikian, anak akan merasa aman dan nyaman di lingkungan sendiri.

Rifah kembali menegaskan, Ayo Main sebenarnya hanya menyediakan tools. Hal terpenting, orangtua hadir dan berkomunikasi dengan anak saat bermain. Orangtua harus hadir, jiwa dan raga. Hadir sepenuh hati.

Selain mengadakan kegiatan offline, Ayo Main juga terus menyebarkan pesan inspiratif dan semangat bermain lewat akun-akun media sosial. Publik dapat mengikutinya di akun resmi Facebook Fans Page ayomain, Twitter @AyomainID, dan Instagram @ayomain. Terbuka juga bagi anak-anak muda yang ingin bergabung menjadi Kakak Main.

“Bermain itu warisan yang harus dijaga oleh keluarga. Bermain juga sebagai pengikat segala ilmu, dapat menstimulasi otak supaya berkembang baik. Kita pun sering lupa bahwa bermain itu keterampilan seumur hidup. Ketika menjadi anak, kita bermain diajak orangtua. Ketika menjadi orangtua, bukankah kita harus bisa mengajak anak bermain?” Rifah meninggalkan pertanyaan retorik yang sekaligus menjadi refleksi bagi para orangtua.

Masih ada mimpi besar yang tersimpan dalam angan-angan Rifah. Bersama kawan-kawan Ayo Main, ia berharap dapat ikut mendukung dunia pendidikan lewat bermain. Baginya, membicarakan reformasi pendidikan sebesar apapun tak akan ada artinya jika tidak melakukan sesuatu yang dimulai dari rumah. [GPW]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 15 Mei 2017

Foto-foto: dokumen iklan Kompas/Cecilia Gandes dan dokumen Ayo Main.