Menerapkan gaya hidup ramah lingkungan jangan setengah-setengah. Mulailah dari langkah-langkah kecil. Salah satunya dengan mendaur ulang sampah rumah tangga menjadi benda lain yang dapat difungsikan kembali. Misalnya, botol plastik atau kaleng bekas menjadi pot tanaman.
Untuk langkah yang lebih besar kita dapat mencontoh pemanfaatan bangunan ramah lingkungan untuk difungsikan sebagai museum. Contohnya, Natural History Museum. Museum yang dibangun dengan menerapkan konsep ramah lingkungan ini berlokasi di San Francisco, AS.
Natural History Museum telah memiliki gelar sebagai museum paling hijau dan ramah lingkungan di dunia. Tergabung dalam bangunan California Academy of Sciences, museum ini terdiri atas empat lantai dan dirancang oleh arsitek terkemuka Renzo Piano dari Italia.
Dari luar, bentuk bangunan menyerupai taman dengan dua buah bukit kecil hijau. Kedua bukit itu adalah atap museum yang menjadi rumah bagi 1,7 juta jenis tanaman. Tiap bukit memiliki diameter 30 meter dan di antara keduanya diletakkan dinding kaca berbentuk kubah setinggi 12 meter.
Satu kubah mewadahi planetarium, sementara kubah lainnya mewadahi hutan hujan yang terdiri atas empat lantai. Pengunjung museum dapat menikmati hutan hujan ini dengan menaiki tangga melingkar yang ditingkahi kupu-kupu dan burung beterbangan di atas kepala. Museum ini juga dipenuhi keanekaragaman laut yang berada di lantai bawah tanah.
Keramahan lingkungan bangunan ini juga datang dari sistem energi. Sebuah kanopi yang mampu menampung 60 ribu sel solar dipasang menaungi atap dan ditutupi rerumputan. Jumlah tersebut mampu mensuplai sekitar 10 persen dari total kebutuhan energi seluruh bangunan ini.
Selain itu, struktur kerangka baja yang digunakan dapat didaur ulang. Berkat model desain dan sistem itu, bangunan ini memperoleh sertifikasi tertinggi, yaitu Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) Platinum dari US Green Building Council. Diharapkan konsep kreatif yang ditawarkan oleh rancang bangun museum ini dapat menjadi inspirasi pengembangan properti lainnya, termasuk di Indonesia. [*/ACH]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 4 Maret 2016
Foto : Dokumen Calacademy.Org