Berdasarkan survei Accenture, 87 persen dari 5.400 responden pelaku bisnis teknologi mengaku setuju bahwa teknologi artificial intellegence (AI) akan merevolusi cara mereka memperoleh informasi dan berinteraksi dengan pelanggan. Tak heran jika banyak perusahaan yang mulai menggunakan AI dalam bentuk chatbot untuk berkomunikasi dengan pelanggan.

Irzan Raditya, CEO dan Co-Founder Kata.ai menuturkan, pada hakekatnya, AI merupakan kemampuan mesin dalam mengambil keputusan berdasarkan data. Oleh sebab itu, AI sendiri merupakan kategori yang sangat luas. Namun, secara umum tren yang paling banyak berkembang saat ini ada dalam berapa kategori.

Pertama dalam bidang NLP (Natural Language Processing) atau pengolahan bahasa alamiah. Contohnya yaitu chatbot dan asisten virtual yang berbasis suara atau percakapan seperti yang bisa dilihat di berbagai ponsel. Kedua, dalam bidang image recognition yaitu komputer dilatih untuk mengenali obyek-obyek yang ada dalam gambar atau video secara otomatis.

Ada juga penerapan AI pada kendaraan tanpa pengemudi yang diharapkan dapat membuat transportasi lebih aman dan efisien di masa depan. Selain itu, ada juga beberapa eksperimen AI yang mencoba mengalahkan manusia dalam beberapa permainan seperti catur.

Penerapan di Indonesia

Di Indonesia, penerapan teknologi AI sudah banyak yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari sistem penentuan harga dalam aplikasi transportasi online, penilaian kelayakan kredit di perusahaan-perusahaan teknologi finansial, hingga rekomendasi produk di situs e-commerce.

Penggunaan AI berupa chatbot oleh berbagai perusahaan juga banyak digunakan agar mereka bisa berkomunikasi lebih baik dengan konsumennya. Chatbot sendiri memiliki tampilan seperti aplikasi chatting pada umumnya. Bedanya, konsumen chatting bukan dengan manusia melainkan robot (mesin).

Secara sederhana, cara kerja membuat chatbot diawali dengan alur percakapan yang dirancang untuk melayani pertanyaan dari pengguna. Lalu, komputer akan mengenali maksud dari ucapan pengguna dan mengarahkannya pada alur dan jawaban yang sesuai.

“Kerumitannya terletak pada kemampuan komputer memahami maksud dari ucapan pengguna. Apakah ia bertanya untuk membeli pulsa, mengecek pulsa, atau membeli tiket pesawat. Di sinilah pentingnya peran teknologi AI dan NLP untuk menerjemahkan maksud dari ucapan pengguna,” tutur Irzan.

Layanan “chatbot”

Beberapa perusahaan yang sudah menggunakan layanan ini antara lain, Unilever dengan chatbot Jemma, Alfamart dengan chatbot Shalma, dan BRI dengan chatbot Sabrina. Chatbot Sabrina merupakan kepanjangan dari Smart BRI New Assistant. Sabrina adalah chatbot yang melayani pertanyaan nasabah mengenai layanan-layanan BRI. Layanan ini diluncurkan pada Januari 2018 dengan target pasar nasabah atau calon nasabah BRI dalam usia produktif dan terbiasa menggunakan perlengkapan digital.

Chatbot berikutnya yaitu Shalma (Sahabat Alfamart). Shalma diluncurkan pada awal 2018 dengan target konsumen Alfamart yang ingin mendapatkan penghematan dan promo terbaik untuk semua kebutuhan belanja mereka. Melalui Shalma, konsumen bisa bertanya mengenai promo-promo terbaru dari Alfamart. Saat ini, Shalma sudah terintegrasi dengan layanan Ponta (program consumer loyalty Alfamart) sehingga mereka bisa mendaftar maupun menggunakan ponta dengan mudah saat berbelanja.

Chatbot ketiga yaitu Jemma. Chatbot milik Unilever ini hadir dengan konsep unik yaitu sebagai sahabat virtual yang bisa diajak mengobrol, curhat, dan mencari info menarik seputar kesehatan dan zodiak. Chatbot yang diluncurkan pada November 2016 ini difungsikan sebagai salah satu saluran untuk consumer engagement sekaligus media promosi yang sangat efektif dan terpersonalisasi untuk brand – brand milik Unilever.

Namun, mengapa nama-nama chatbot yang dipilih yaitu Sabrina, Shalma, dan Jemma identik dengan karakter perempuan? Kata.ai selaku pengembang chatbot tersebut mengemukakan alasannya. Menurut Irzan, persona perempuan yang digunakan untuk chatbot sebenarnya menyesuaikan dari strategi bisnis perusahaan-perusahaan pemilik chatbot.

“Hal ini sejalan dengan citra yang ingin perusahaan-perusahaan tampilkan kepada konsumennya, seperti Sabrina dan Shalma yang diberikan persona wanita untuk terkesan lebih ramah kepada konsumen. Sementara itu, Jemma sendiri memang memiliki target audience wanita usia muda dan mengingat ia diposisikan sebagai sahabat, maka persona yang dipilih pun menjadi perempuan,” jelas Irzan.

Biaya

Lalu, berapa biaya yang dibutuhkan jika perusahaan ingin membuat chatbot sendiri? Irzan menuturkan, biayanya bisa beraneka ragam mulai dari puluhan juta hingga miliaran rupiah. Semua hal tersebut tergantung dari seberapa kaya fitur yang diinginkan dalam chatbot tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk waktu pengembangan chatbot yang bisa beraneka ragam mulai dari hitungan minggu hingga bulanan.

“Kami melihat bahwa bisnis AI terus mencari cara untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Bahkan, chatbot sendiri sudah menjadi salah satu saluran yang dituntut oleh konsumen untuk dimiliki brand yang mereka gunakan. AI tentu bisa menjadi salah satu teknologi yang meningkatkan efisiensi. Karena itu akan semakin banyak bisnis yang menggunakan AI dalam berbagai bidang dan tidak hanya terbatas pada chatbot,” pungkas Irzan. [INO]