Dunia traveling begitu riuh dengan jumlah peminatnya yang terus melonjak. Laman media sosial menjadi saksi dari setiap langkah perjalanan dan bukti eksistensi. Namun, tak sedikit yang melangkah dalam diam, sembari menabur hati. Memberi makna baru dari sebuah perjalanan berlibur, voluntourism.
Berakar pada kata volunteer dan tourism, voluntourism memiliki makna berwisata sambil menjadi sukarelawan. Istilah ini bukan hal baru dalam dunia pariwisata global, muncul sejak tahun 1950-an. Sempat populer pada 1990-an, istilah ini kemudian senyap. Seiring masyarakat Indonesia yang kian “melek wisataâ€, istilah ini kembali muncul ke permukaan dan menuai kelompok penggemar tersendiri.
Kebangkitan industri pariwisata selama sekitar satu dekade terakhir sedikit banyak membuka celah-celah baru dalam berwisata. Berlibur tak lagi dimaknai sekadar rehat dari rutinitas dan jalan-jalan. Sebagian orang memaknainya sebagai ajang untuk bertualang.
Tidak sedikit yang memaknai liburan sebagai pintu membuka wawasan sehingga toleransi terhadap ras, etnis, dan agama lain kian terasah baik. Dan, bagi sebagian pelancong, berlibur tak selamanya hanya keindahan alam dan budaya setempat, tetapi juga meninggalkan ilmu di tempat yang telah disambangi.
Era berbagi
Voluntourism membawa semangat ingin membantu dan memberdayakan penduduk setempat. Melalui pendidikan, keterampilan manajemen keuangan pada komunitas perajin, memberi pengetahuan tentang konservasi lingkungan sekitar, termasuk dalam kegiatan voluntourism yang kerap ditemui.
Saat ini ada banyak organisasi yang membawa misi serupa. Negara-negara berkembang seperti di Asia dan Afrika menjadi destinasi tujuan. Voluntourism pun menjadi sebuah perpanjangan tangan bagi negara-negara maju untuk menjangkau daerah-daerah terpencil. Pun halnya di Indonesia, komunitas-komunitas yang membawa semangat berbagi terus bermunculan. Mereka membantu para pelancong yang ingin ber-voluntourism menjadi relawan pengajar sehari atau ikut mendistribusikan buku di suatu tempat.
Dewasa ini semangat voluntourism tak hanya dibawa oleh sebuah lembaga ataupun organisasi, tetapi juga individu. Ketika menjadi salah satu pemenang lomba fotografi yang membawa Zet Zaini datang ke Asmat selama 10 hari, ia diwajibkan membuat kumpulan foto. Namun, di tengah misinya mengumpulkan foto untuk kepentingan penyelenggara, ia membagikan puluhan buku ke beberapa distrik yang disambangi.
Pun halnya dengan salah seorang rekannya, Christian yang berprofesi sebagai dokter umum. Christian membawa puluhan gunting kuku, yang masih menjadi benda asing di sana. Ia mengajarkan anak-anak menggunting kuku dengan baik dan benar, sembari menjelaskan pentingnya kebersihan kuku.
Semangat berbagi terus menjalar di hati generasi muda, bahkan menjadi pemicu kaki terus melangkah jauh. Seperti halnya Cecilia Gandes yang jatuh cinta pada kegiatan voluntourism sejak 2013. Atas inisiatifnya sendiri, ia merengkuh Lampung, Rote, dan Timika. Kadang, ia “menggabungkan agenda†sambil mengikuti program Kelas Inspirasi, lalu membuat agenda sendiri di luar jadwal mengajar yang juga berisi kegiatan berbagi.
Semua ini berawal dari sekadar memanfaatkan kesempatan mengunjungi sahabat di Lampung Timur. “Awalnya, misinya sharing soal profesi. Tapi, aku coba gali lagi, ada tidak yang bisa aku bagikan lagi, disesuaikan dengan masalah di sana. Ternyata ada. Soal bahasa. Sejak itu, aku jadi kepikiran. Kalau pergi dan ada kesempatan berbagi, kok, rasanya beda, ya. Mungkin, enggak banyak tempat wisata yang bisa kita raih, tapi ‘rasa perjalanan’-nya bisa beda banget.â€
Rasa perjalanan yang memberi kekayaan hati. Ketika menjadi kaya tak melulu terukur dengan materi. [ADT]
noted:Â Berjalan dan BerbagiÂ