Arborek hanyalah pulau kecil yang luasnya tak lebih dari 7,2 hektare. Titik mungil yang hampir tak kentara pada peta keseluruhan Raja Ampat, Papua Barat. Namun, gaungnya kini begitu lantang. Daratan, juga perairan di sekitarnya, disinggahi para petualang dari berbagai belahan dunia.

Sore itu, di bawah pohon ketapang di pantai Arborek, Maria Fakdawer mencetak pola pari manta pada topi dari pandan laut yang telah dianyamnya. Dengan cekatan ia lalu menggunting anyaman mengikuti pola tersebut. Setelah itu, anyaman bertekstur lancip yang oleh warga disebut “anyaman duri” dijahitkan pada pola dasar topi. Membubuhkan motif timbul indah dengan warna-warna yang menarik.

Sejak beberapa tahun belakangan, para mama di kampung ini memang mulai membuat topi berpola pari manta. Sebelumnya, mereka hanya memiliki pola bundar biasa dan pola gelombang untuk topi anyaman khas kampung ini. Inisiatif menciptakan pola baru pari manta tak lepas dari budaya yang mengakar pada warga Kampung Arborek. Orang laut yang sejak lama dekat dengan kehidupan bahari, termasuk biota-biotanya.

Sejak berpuluh tahun silam, suku Betew yang mendiami Arborek kerap berjumpa dengan pari manta ketika mereka melaut atau molo—menyelam bebas untuk mengambil hasil laut seperti teripang. Di sebuah area di bagian timur-laut kampung ini, ada titik tertentu yang menjadi tempat membersihkan diri atau cleaning station pari manta. Tempat yang masih berada dalam wilayah ulayat Arborek ini kini dinamai Manta Sandy.

Setelah Raja Ampat menjadi magnet wisata pada akhir 1990-an dan Arborek menjadi kampung wisata pada sekitar 2008, Manta Sandy menjadi tempat yang banyak didatangi wisatawan. Melihat langsung bagaimana pari manta membersihkan diri dan makan plankton menjadi atraksi yang menarik. Sayangnya, beberapa tahun lalu pengelolaannya sempat tak terkendali.

“Dulu, bisa ada 50 penyelam di titik Manta Sandy. Harusnya penyelam hanya boleh diam mengamati manta-manta itu, tetapi banyak yang sengaja memegang, bahkan mengejar. Manta jelas merasa terganggu dan menghilang dari titik itu,” kisah Rafid dari lembaga swadaya masyarakat Manta Trust.

Sejak Juni 2017, diterapkanlah aturan baru untuk mengatur wisatawan yang akan menyelam atau snorkeling di Manta Sandy. Setiap pengunjung harus melapor terlebih dahulu ke Pos Manta Sandy. Sekarang, dalam rentang satu jam hanya boleh ada maksimal 20 penyelam yang mengeksplorasi Manta Sandy. Jika terjadi pelanggaran, baik oleh wisatawan ataupun operator wisata, para kader manta akan membuat laporan secara tertulis dan sistematis untuk ditindaklanjuti. Operator yang terbukti melakukan pelanggaran akan mendapat teguran hingga pencabutan izin membawa wisatawan ke Manta Sandy.

Berdirinya pos manta dan diterapkannya aturan baru ini tidak lepas dari peran pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, serta masyarakat lokal yang kemudian membentuk kelompok kerja (pokja) manta pada 2016.

Pokja manta melatih para kader manta dari kampung sekitar, termasuk Arborek, yang bertugas secara bergiliran di Pos Manta. Tugas mereka antara lain memeriksa kartu jasa lingkungan yang wajib dimiliki wisatawan, mendata wisatawan yang wajib melapor sebelum bermain-main di Manta Sandy, serta menyosialisasikan panduan berenang dan menyelam di wilayah Manta Sandy kepada wisatawan.

Manta-manta di perairan Raja Ampat kini memang bisa hidup dengan lebih nyaman. Warga pulau yang dulunya juga kerap menangkap manta, berburu hiu dan penyu, kini justru menjadi garda terdepan sebagai pelindung.

Konservasi

Manta Sandy adalah salah satu bagian pengembangan sejak Arborek dikukuhkan sebagai Kampung Wisata pada 2009. Arborek dianggap sebagai pionir yang mengembangkan konservasi laut berbasis masyarakat lokal.

Namanya pun kian bergema sejak berhasil menyabet juara pertama sebagai Kampung Wisata Terbaik se-Papua Barat pada 2015. Dengan posisinya yang strategis, berada di tengah-tengah jalur antara Waisai dan Piaynemo atau Wayag yang menjadi dua titik utama para pelancong di Raja Ampat saat ini, Arborek menjadi kampung transit.

“Sejak menang menjadi kampung wisata terbaik pada 2015 itu, masyarakat semakin termotivasi ikut terjun ke (dunia) pariwisata. Dulunya hanya ada satu homestay, yang didirikan oleh dinas pariwisata pada 2008. Saat ini sudah ada 10 homestay dan masih akan bertambah lagi,” terang Kepala Kampung Arborek Daud Mambrasar.

Mata pencaharian warga turut berubah. Jika sebelumnya 100 persen nelayan, sejak 2016 hanya 30 persen warga yang masih berprofesi sebagai nelayan. Penghasilan dari sektor wisata dianggap lebih menjanjikan ketimbang melaut. “Saat bulan ramai wisatawan (Oktober-Maret), setidaknya ada 150 tamu yang datang ke Arborek per bulannya,” tambah Daud.

Menjadi kampung wisata, menurut Sekretaris Desa Arborek Stefanus Mambrasar, juga kian menyadarkan warga untuk melindungi biota laut. “Warga sadar bahwa biota laut yang menjadi daya tarik wisatawan.”

Melindungi laut, bagi warga Arborek, bukanlah hal asing. Sebelum dibuatnya panduan-panduan yang lebih formal untuk menjaga keberlangsungan manta misalnya, mereka sejak dulu menjaga keseimbangan alam ini dalam bentuk sasi atau larangan. Sasi laut yang berlaku di Arborek antara lain tidak memperbolehkan warga memancing ikan dalam jarak 2 mil dari batas pulau. Warga juga dilarang menangkap ikan dalam jumlah berlebihan. Ada beberapa biota laut yang dilindungi seperti terumbu karang yang tidak boleh dirusak, diinjak, atau terkena kapal, pun halnya hiu, penyu, dan teripang yang kini dilarang diambil.

Sasi terbaru yang diterapkan adalah melompat dari dermaga atau jetty Arborek. “Wisatawan sering datang ke sini hanya untuk main-main di sekitar jetty. Banyak yang snorkeling di situ karena memang di bawah jetty itu menjadi area schooling fish sehingga ada banyak sekali ikan. Tetapi gara-gara banyak yang sering melompat dari atas jetty, lama kelamaan ikan semakin sedikit. Lompatan-lompatan itu membuat ikan kaget dan merasa terganggu sehingga akhirnya mereka pergi,” cerita Githa Anathasia, penduduk Arborek yang juga pemilik Arborek Dive Shop.

Ia pun tengah menggodok kampanye “don’t feed the fish” mengingat setiap wisatawan yang datang selalu memberi makan pada ikan-ikan di sekitar jetty. Setiap makanan yang ditebar akan membuat ikan-ikan bermunculan dan berkerumun di permukaan. Hal ini memang menjadi pemandangan menarik. Namun, Githa mengingatkan, hal ini justru mengganggu rantai makanan.

“Setiap kedalaman laut memiliki tipe ikan tersendiri. Karena banyak yang memberi makan, ikan-ikan dari kedalaman mulai naik ke permukaan. Ikan-ikan yang semestinya memakan alga beralih memakan apa yang dilemparkan orang di permukaan. Akibatnya populasi alga meningkat dan lama-lama menyebabkan terumbu karang mati karena tertutup alga,” pungkas Githa.

Tak dimungkiri, saat ini dengan banyaknya pengunjung dan pendapatan yang lebih menjanjikan dari pariwisata, tantangan-tantangan baru juga dihadapi Kampung Arborek. Kesulitan mengelola sampah, kian sedikitnya warga yang menguasai navigasi laut dan kemampuan molo, atau belum stabilnya ketersediaan air semestinya menjadi perhatian kolektif warga. Kemauan untuk berpegang pada kearifan lokal yang begitu menghargai kehidupan darat dan laut dapat menjadi bekal untuk mewujudkan kampung yang berkelanjutan. [ADT/NOV]

Foto-foto Iklan Kompas/E. Siagian

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 20 November 2017