Bangunan bersejarah di Indonesia tak lepas dari proses percampuran budaya. Menariknya, desain bangunan bersejarah tersebut tidak hanya dibuat untuk fungsionalitas, tetapi juga punya makna di baliknya.

Sebelum teknologi berkembang seperti sekarang, desain bangunan dikembangkan berdasarkan apa yang dipelajari dan kemudian dimaknai. Perkembangan desain bangunan itu semakin kaya saat proses akulturasi, yang pertukaran pengetahuan dan budaya juga ikut memengaruhi desain bangunan. Proses akulturasi tersebut biasanya terlihat kental di bangunan rumah ibadah bersejarah. Salah satunya, Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang.

Kelenteng yang berada di Jalan Simongan Raya, Semarang, Jawa Tengah, ini memiliki percampuran corak China dan Jawa. Bisa dilihat pada desain atap kelenteng berbentuk limasan yang juga khas digunakan untuk rumah masyarakat Jawa. Bangunannya pun mirip seperti Joglo yang tidak punya sekat dinding. Joglo juga biasanya digunakan untuk seorang raja.

Atap bertumpuk yang berbentuk menurun juga sesuai dengan ciri khas orang Jawa yang selalu menerima dan rendah hati. Unsur Jawa ini juga cukup kuat di beberapa bagian kelenteng, antara lain pahatan atau hiasan batu yang mengingatkan pada candi-candi di Jawa.

1007-Tips-Langgam-sam-pong_4
1007-Tips-Langgam-sam-pong_5
1007-Tips-Langgam-sam-pong_1
1007-Tips-Langgam-sam-pong_9
1007-Tips-Langgam-sam-pong_3

Sementara itu, unsur Chinanya terlihat di ujung atap yang cenderung meruncing naik. Filosofi ujung atap yang naik ini sesuai dengan karakter orang China yang selalu bersemangat, baik dalam bekerja maupun belajar. Desain itu melambangkan kalau orang China dalam berkehidupan selalu berusaha mengejar yang terbaik. Unsur China semakin kental dengan nuansa merah menyala, yang bagi orang China punya arti keberuntungan.

Ornamen yang jelas terlihat unsur budaya China adalah relief naga, burung hong, dan kura-kura pada tiang struktur dan di alas patung. Hewan ini dipercaya sebagai makhluk langit pembawa berkah. Sementara itu, penopang atap kelenteng ini cukup unik karena konstruksi balok penyangga atap dibangun tanpa kuda-kuda.

Lokasi utama kelenteng ini ada pada Gua Batu yang dipercaya menjadi tempat petilasan atau ruang bersembahyang Laksamana Zheng He atau biasa kita kenal Laksamana Cheng Ho. Di dalam gua batu ini ada patung yang dipercaya sebagai patung Sam Poo Tay Djien atau Cheng Ho.

Percampuran budaya ini juga terlihat saat pemberian nama bangunan. Penamaan ini berdasarkan kepercayaan masyarakat zaman dulu berdasarkan material kelenteng yang dipercaya ada yang berasal dari beberapa bagian kapal milik Cheng Ho. Contohnya, Mbah Kiai Tjundrik Bumi yang menjadi tempat menyimpan senjata, Kiai/Nyai Tumpeng terkait dengan makanan, dan Kiai Djangkar di mana ada bangunan untuk menyimpan jangkar kapal yang digunakan Cheng Ho saat mendarat di Jawa. Penggunaan kata “mbah” sendiri lekat dengan panggilan orang Jawa untuk orang yang sudah tua atau sudah memiliki cucu.

Mengutip dari penelitian Benedicta Sophie Marcella yang ditulis dalam Jurnal Arsitektur Komposisi berjudul Feng Shui Pada Tata Letak Massa Bangunan di Kelenteng Sam Poo Kong, kelenteng ini dibangun berdasarkan fengshui. Salah satunya, adanya anggapan bangunan yang menghadap ke barat laut atau tenggara berarti menghadap ke pintu kejahatan. Oleh karena itu, pembangunan pintu masuk kelenteng diusahakan menghadap ke selatan. Sampai saat ini, gerbang besar kelenteng ini menghadap ke selatan.

Menariknya, kelenteng ini juga punya unsur Islam karena Cheng Ho sendiri dipercaya menganut agama tersebut. Ini terlihat pada penataan altar di dalam gua batu yang menghadap ke tenggara sehingga umat yang beribadah menjadi menghadap barat laut. Dalam kepercayaan Muslim, barat laut berarti menghadap ke Mekkah. Dalam fengshui, arah ini juga dipercaya baik karena menghadap ke laut dan membelakangi gunung. Kenapa laut? Dulu, kelenteng ini sangat dekat dengan bibir pantai, tetapi perlahan perairan mulai surut dan kelenteng ini menjadi jauh dari bibir pantai. Corak Islam juga terlihat pada bagian langit-langit yang memiliki warna hijau dan keberadaan beduk.

Jika berkunjung ke sini, Anda akan takjub dengan adanya patung Cheng Ho yang tinggi menjulang. Patung ini memiliki tinggi 10,7 meter. Patung berbahan perunggu ini lebih tinggi dari pada patung serupa yang ada di Melaka, Malaysia. Keberadaan Cheng Ho ini membuat kelenteng ini tidak saja dikunjungi untuk peziarah dari agama Tridharma, tetapi juga dari Islam.

Di sini, juga sering diadakan acara-acara penting. Salah satunya, festival Peringatan Cheng Ho ke Semarang yang diadakan antara Juli hingga Agustus setiap tahunnya. Anda juga bisa berkunjung saat Imlek karena suasana kelenteng ini akan lebih ramai dan menarik. [VTO]

Foto-foto : Iklan Kompas/ Antonius SP dan B. Yurivito.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 7 Juli 2017