Pernah merasakan yang namanya quarter life crisis atau krisis (usia) seperempat abad? Belakangan ini, banyak anak muda mendekati usia 25 tahun mengaku terbebani oleh tuntutan sosial.  Gaya hidup mereka pun kian semrawut dengan munculnya fenomena overwork dan hustle culture demi mengejar work-life balance.

Menurut Olphi Disya Arinda, seorang psikolog klinis, quarter life crisis bisa jadi hanya persepsi para anak muda yang menuntut diri mereka agar diterima dalam lingkungan sosialnya. Di samping itu, anak muda masa kini sering membandingkan pencapaiannya dengan pencapaian orang lain. Standar kesuksesan mereka pun menjadi sangat dipengaruhi lingkungan sosialnya.

Pentingnya menjaga kesehatan mental
Munculnya fenomena sosial seperti overwork ternyata bisa dikaitkan dengan kemunculan Covid-19. Dampaknya, banyak anak muda yang harus bekerja dari rumah dengan jam kerja yang tidak teratur. Tantangannya, mereka harus belajar untuk self-control agar dapat membagi waktu dengan baik.

Di sisi lain, fenomena hustle culture juga menjadi masalah tersendiri di kalangan anak muda. Anggapan bahwa menjadi “sibuk” adalah sebuah produktivitas mendorong mereka untuk terus bekerja tiada henti. Padahal, menurut Disya yang dimaksud produktif adalah bekerja dalam waktu yang telah ditetapkan secara efektif.

Disya juga mengatakan, orang yang bekerja sepanjang waktu justru kurang produktif dan lebih berisiko untuk sakit. Karena itu, setiap orang butuh work-life balance. Tapi bukan berarti porsi untuk bekerja dan santai harus sama persis, tapi lebih kepada bagaimana menentukan prioritas. 

Masih banyak lagi hal yang dibahas dalam siniar The Corners Talk bertajuk “Berdamai dengan Fase Quarter Life Crisis, Gimana Caranya?” di Spotify. Jangan lewatkan diskusi seru bagaimana menghadapi standar sosial yang ada di masyarakat hingga tips menerapkan work-life balance dalam pekerjaan kita untuk menjaga kesehatan mental.