Tokoh utama dalam film ini, Amira (diperankan oleh Michelle Ziudith), adalah potret perempuan modern yang tampak sempurna di luar, namun hancur di dalam. Ia dikhianati, kehilangan, dan pada satu titik bahkan berpikir untuk mengakhiri hidup. Amira bukan hanya karakter fiksi—ia adalah cerminan banyak orang yang pernah bertanya dalam hati, “Kenapa hidup terasa tidak adil padaku?”
Ketika semua seolah menjauh, Amira memilih jalan yang tak semua orang berani tempuh: perjalanan spiritual ke Tanah Suci. Di situlah, dimulai babak baru pencarian yang penuh air mata, doa, dan keikhlasan.
Pengalaman jiwa
Disutradarai oleh Hadrah Daeng Ratu, film ini berhasil membawa penonton menelusuri nuansa emosional yang dalam, melalui visual sinematik yang menggambarkan indahnya Mekkah dan keheningan yang berbicara lebih banyak dari kata-kata.
Durasinya 102 menit, namun pengalaman batin yang ditawarkan jauh lebih panjang. Ini bukan tontonan yang membuatmu keluar bioskop sambil tersenyum bahagia, tetapi yang membuatmu merenung dalam diam—dan mungkin, akhirnya menangis karena merasa dilihat dan dimengerti.
Salah satu kekuatan film ini adalah pada pendekatannya terhadap emosi perempuan. Assalamu’alaikum Baitullah tidak menyederhanakan penderitaan. Ia menunjukkan betapa kompleksnya luka batin, dan bagaimana solidaritas sesama perempuan, kekuatan doa, serta keberanian untuk memulai dari nol bisa menjadi titik balik.
“Luka bisa menjadi pintu menuju kebangkitan,” begitu pesan tersiratnya. Dan pesan ini terasa sangat relevan, terutama di era di mana kesempurnaan hidup sering kali hanya ditampilkan dalam bingkai media sosial.
Panggilan pulang
Tak perlu menjadi religius untuk menyukai film ini. Cukup menjadi manusia. Karena pada dasarnya, kita semua pernah merasa hampa, tersesat, atau bertanya-tanya apakah hidup ini punya tujuan. Film ini bukan ingin menggurui, tetapi mengajak kita bertanya ulang: ke mana sebenarnya arah kita melangkah?
Dengan latar lokasi syuting di Indonesia dan Mekkah, serta skenario yang ditulis oleh tiga penulis handal—Titien Wattimena, Irfan Ramli, dan Efrina Sisfayeralda—film ini memiliki kedalaman naskah yang kuat dan emosional.
Assalamu’alaikum Baitullah bukan sekadar film, tapi perjalanan. Sebuah ajakan untuk berhenti sejenak, memeluk luka, dan kembali menemukan cahaya di dalam diri.