Manfaat air susu ibu (ASI) adalah anugerah Tuhan yang dimiliki setiap ibu untuk si buah hati. Untuk itulah pentingnya menyusui senantiasa digaungkan untuk tumbuh kembang optimal generasi penerus bangsa.
Sejatinya ASI menjadi hak yang mendasar bagi anak karena menjadi makanan terbaik di awal kehidupannya. Selain untuk memberikan makanan, ASI juga menunjang kecerdasan dan pelindung bagi kesehatan anak. Adanya kandungan zat gizi lengkap, mudah dicerna dan diserap secara efisien merupakan segenap manfaat ASI bagi bayi.
Salah satu manfaat ASI adalah mencegah 50 persen kejadian diare pada anak. Hal itu disampaikan dr Yovita Ananta SpA, IBCLC, MHSM dalam konferensi pers Pekan ASI Sedunia di kantor Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada Selasa (16/8).
Selain itu, ASI mampu mengurangi 13 persen risiko obesitas dan 35 persen risiko diabetes pada anak. Di samping itu, ASI terbukti mencegah sepertiga kejadian infeksi saluran napas anak dan mengurangi 58 persen risiko penyakit usus parah pada bayi prematur.
Manfaat menyusui juga dapat dirasakan sang ibu. Ada penelitian yang memaparkan setiap setahun menyusui, risiko terkena kanker payudara menurun 6 persen. Di sisi lain, dengan memberikan ASI, otomatis membantu memperkuat hubungan ibu dan anak.
Dengan segenap manfaat dan kebaikan ASI, proses menyusui menjadi kunci menuju pembangunan berkelanjutan, selaras dengan tema Pekan ASI Sedunia tahun ini. Berkaitan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, menyusui merupakan langkah pertama seorang manusia memiliki kehidupan sehat dan sejahtera.
Dalam seminar media tersebut, Yovita juga menerangkan bahwa ada tiga kunci praktek pemberian ASI optimal. Pertama adalah mulai menyusu dini dalam satu jam pertama setelah bayi lahir (IMD). Kedua, menyusu eksklusif selama enam bulan pertama dari hidup bayi (ASI Eksklusif). Ketiga, terus menyusui sampai dua tahun atau lebih dengan makanan pendamping ASI yang tepat.
Tantangan
Sayangnya, impian tersebut masih perlu terus diperjuangkan. Pasalnya, dari hasil penelitian Satgas ASI IDAI (2015) ditemukan bahwa hampir 9 dari 10 ibu pernah memberikan ASI. Namun, hanya 49,8 persen ibu yang memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan sesuai rekomendasi organisasi kesehatan dunia WHO. Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif ini tentunya kelak dapat berdampak pada kualitas hidup generasi penerus dan perekonomian nasional.
Temuan lain Satgas ASI IDAI (2011) menyebutkan 75 persen persalinan sudah diikuti dengan upaya meletakkan bayi di dada ibu segera setelah lahir. Namun sebagian besar, sebanyak 87 persen hanya diberikan kesempatan kontak kulit ke kulit (skin to skin) kurang dari 30 menit. Semestinya, IMD dibiarkan berlangsungnya setidaknya satu jam atau sampai bayi menyusu untuk pertama kali.
Yovita menjelaskan, bayi yang tidak disusui menghadapi risiko lebih rentan penyakit. Kerugian lainnya, ayah dan ibu menanggung biaya pembelian susu formula bayi dan biaya pengobatan yang lebih besar.
Kemampuan kognitif individual pun tidak optimal sehingga kehilangan kesempatan mendapatkan pendapatan lebih baik. Diperkirakan dampak tidak menyusui dapat memboroskan dana hingga Rp 21,76 triliun setiap tahun.
Tak ada kata lain untuk terus meningkatkan dukungan ASI, baik dari pemerintah, masyarakat, media, maupun tenaga kesehatan. Riset Satgas ASI (2016) turut memperkuat data bahwa angka capaian ASI eksklusif lebih tinggi pada ibu yang tidak bekerja.
Dengan kata lain, berkaca terhadap kondisi ini, dibutuhkan cuti maternitas lebih “patut” agar semua bayi mendapatkan hak disusui eksklusif hingga enam bulan. Penerapan kode internasional pemasaran pengganti ASI juga menjadi penting untuk melindungi ibu dari promosi susu formula yang tidak bertanggung jawab. Terakhir, kunci utama datang dari sistem layanan kesehatan yang kuat dan konsisten menjalankan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui. [*/AJG]
foto: shutterstock
noted: asi kunci kualitas hidup si buah hati