Istilah tone deaf belakangan bertebaran di media sosial. Biasanya, frasa ini diucapkan oleh warganet untuk mengkritik perilaku atau ucapan seseorang. Apa arti tone deaf sebenarnya dan bagaimana penggunaannya? Yuk, kita cari tahu.

Makna istilah tone deaf

Dalam konteks ungkapan di dunia maya, sebutan tone deaf berarti tidak peka atau berempati pada perasaan dan keadaan pihak lain. Ketidakacuhan ini kerap berujung pada ucapan atau perilaku yang dapat dianggap tidak pantas dalam konteks sosial yang ada.

Orang tone deaf biasanya dianggap abai, arogan, dan tidak memiliki kecerdasan emosional sehingga cenderung meremehkan masalah dan perasaan orang lain.

Pada dasarnya, sebutan ini diambil dari frasa tone deaf  yang berarti “buta nada” dalam bahasa Indonesia. Istilah ini digunakan dalam konteks musikal untuk mendeskripsikan seseorang yang tidak dapat mengenali atau membedakan nada. Akibatnya, lagu yang dinyanyikan menjadi sumbang.

Sama seperti orang yang buta nada, orang yang dikritik sebagai tone deaf dalam konteks sosial juga sering kali tidak dapat memahami nuansa perasaan dan pengalaman orang lain.

Perilaku ini kerap ditemukan pada orang yang memiliki hak Istimewa (privilege). Keistimewaan inilah yang menghalangi kemampuan mereka untuk “mendengar” realitas kelompok masyarakat lain yang tidak seberuntung mereka.

Baca juga: Negara yang Masih Menghidupi Sistem Kasta

Contoh dalam budaya populer

Sikap tone deaf digambarkan dalam salah satu adegan film Parasite (2019), di mana Yeon Kyo (Yeo Jeong Jo) yang tengah disopiri Ki Taek (Kang Ho Song) berbicara di telepon tentang hujan deras yang melanda. Cuaca tersebut membuatnya memutuskan untuk membatalkan rencana berkemah dan memilih untuk mengadakan pesta taman. Baginya, ada hikmah di balik musibah.

Sementara itu, Ki Taek yang mendengar percakapan Yeon Kyo nampak jengkel. Ketika hujan deras terjadi, ia terpaksa kewalahan menjaga barang-barang di rumahnya yang kebanjiran. Nasib yang sama juga dirasakan tetangga-tetangganya. Bagi mereka, hujan tersebut hanyalah sebuah musibah.

tone deaf
Foto dok. Barunson E&A

Rasa syukur seperti yang Yeon Kyo ungkapkan boleh jadi memiliki dasar yang baik. Namun, sikapnya yang tidak memedulikan nasib Ki Taek dan masyarakat lain yang kesulitan menunjukan karakteristik tone deaf.

Hingga kini, adegan ini telah menjadi meme yang cukup populer di kalangan warganet. Gambaran ketimpangan nasib antarkelas dan ekspresi Ki Taek yang nampak muak dianggap cocok untuk menanggapi unggahan-unggahan tone deaf di media sosial.

Penggunaan istilah tone deaf

Pada dasarnya, istilah ini digunakan warganet sebagai bentuk kritik. Namun, perlu diingat bahwa kritik yang disampaikan secara sembarangan dapat memicu kesalahpahaman dan konflik. Berikut hal-hal yang perlu dilakukan dalam menggunakan istilah tone deaf:

1. Pahami Konteks
Pastikan kritik yang ingin kamu sampaikan relevan dengan situasi dan pernyataan yang dituju. Pertimbangan perbedaan sudut pandang yang mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi dan memahami situasi.

2. Tentukan Tujuan Kritik
Gunakan istilah tone deaf digunakan untuk meningkatkan pemahaman dan memperbaiki situasi, bukan sekadar menghakimi atau menjatuhkan. Tujuan yang jelas dapat membentuk ruang diskusi yang konstruktif dan produktif.

3. Beri Kesempatan untuk Klarifikasi
Setelah menyampaikan kritik, ajak orang tersebut mendiskusikan niat dan perspektif unggahan mereka. Dengan demikian, mereka memiliki kesempatan untuk memperbaiki keadaan serta berkembang agar tak mengulang perilaku yang sama ke depannya.

Di sisi lain, penting juga bagi individu dengan hak istimewa untuk mengembangkan empati, meningkatkan kesadaran terhadap kondisi sosial dan ekonomi orang lain, serta melakukan refleksi diri untuk mengurangi potensi bersikap tone deaf.

Dialog terbuka dan edukasi tentang berbagai perspektif sosial juga dapat membantu meningkatkan pemahaman tentang kebutuhan dan tantangan yang dihadapi beragam lapisan masyarakat. Jangan sampai kita justru menjadi pribadi yang tak acuh, merendahkan sesama, dan tak bisa “mendengar”.