Seniman seolah tak mengenal hari libur. Sebab, inspirasi untuk berkesenian bisa muncul kapan saja. Bila tak segera “dikekalkan”, ide-ide seni ini bisa menguap dan mungkin tak lagi kembali.

Seniman musik gamelan asal Yogyakarta Ishari Sahida atau yang biasa disapa Ari Wulu sudah biasa bekerja di musim liburan seperti akhir tahun kemarin. Bersama seniman-seniman lain, ia mengisi akhir tahun dengan menggali ide atau merencanakan agenda seni untuk tahun depan.

“Biasanya sampai Februari kita berkutat untuk nguber (mengejar) ide bersama teman-teman seniman. Baru pada Maret sampai Desember, kita realisasikan bentuk acaranya,” kata Ari, Jumat (29/12).

Ari sudah bermusik sejak 1992 saat masih duduk di bangku SMP. Sebagai putra dari maestro gamelan (almarhum) Sapto Rahardjo, saat itu ia sudah membuat lagu dengan instrumen gamelan.

“Perubahan proses bermusik yang menurut saya signifikan baru terjadi pada 2007. Sebab, selain membuat musik untuk diri sendiri, saya mulai membuat musik untuk orang lain. Misalnya pesanan seniman yang akan tampil dan membutuhkan musik pengiring.

Orang-orang yang minta dibuatkan lagu atau yang biasa mendengar musik ciptaan Ari, lanjutnya, lambat laun mulai merasakan kekhasan warna musik yang ia lahirkan. Bahkan, Ari kerap membuat musik yang sama sekali tidak ada komponen gamelannya tapi orang sudah langsung merasakan adanya sentuhan Jawa.

Ia pun kini semakin gemar bereksplorasi untuk memadukan langgam gamelan dengan musik elektronik. Di masa kini, imbuhnya, gamelan harus bersinergi dengan zaman. “Itulah sebabnya, saya merekam gamelan digital. Saya gunakan komputer untuk bekerja. Setelah unsur gamelan saya padukan dengan jenis musik lain, hasilnya saya presentasikan dulu kepada teman-teman.”

Gamelan bagi orang Jawa, kata Ari, menjadi bagian dari laku hidup. Filosofi gamelan adalah sesrawungan atau perjumpaan dengan orang lain. Sebab, bermain gamelan tidak bisa sendirian. Di sini, gamelan dimainkan dengan melibatkan rasa, bukan dengan notasi. Keselarasan nada tercipta lewat proses “komunikasi rasa” dari setiap pemainnya.

Di level festival, Ari Wulu yang pernah mengenyam pendidikan di SMA Kolese De Britto, Yogyakarta, ini juga cukup dikenal. Utamanya dalam penyelenggaraan Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) dan Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Di YGF, Ari sudah mulai terlibat sejak 2009. YGF yang telah digelar sejak 1995 ini, menjadi salah satu ikon budaya Yogyakarta.

“YGF ini seperti ‘warisan’ dari almarhum bapak. Jadi, saya sekeluarga yang sekarang meneruskannya. Kami bersama Komunitas Gayam 16 berkomitmen untuk terus menghelat YGF. Komunitas Gayam 16 merupakan organisasi nirlaba yang telah berbadan hukum,” ujarnya.

Sementara itu, di FKY, Ari telah terlibat sejak 2013 hingga sekarang dan didapuk sebagai ketua. Untuk FKY 2018, lanjut dia, mungkin menjadi yang terakhir dalam kapasitasnya sebagai ketua. “Supaya ada penyegaran,” ujarnya.

Ia menukil sedikit rencana penyelenggaraan YGF 2018. “Rencananya kami akan bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk mengundang para pengrajin gamelan. Kemudian, kami juga mendatangkan pembelinya sehingga YGF tidak hanya sebagai wadah pertunjukan dan edukasi tapi juga menghidupkan potensi ekonomi bagi pengrajinnya,” pungkasnya. [TYS]

foto : Dok. Ari Wulu

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 2 Januari 2018