Industri fashion menjadi salah satu penyumbang terbesar polusi air, terutama karena penggunaan bahan beracun dalam produksi materialnya. Kesadaran untuk memproduksi produk-produk fashion yang ramah lingkungan sayangnya belum dimiliki banyak pihak.
Pernyataan aktris Emma Watson beberapa tahun lalu menarik. Pada 2015, ia membuat keputusan untuk hanya mengenakan pakaian yang berkelanjutan (sustainable) di karpet merah.
Baginya, tak lagi cukup memakai busana yang sekadar indah. “Saya ingin memastikan itu tidak meninggalkan dampak negatif. Fashion adalah sesuatu yang berkaitan dengan kita setiap harinya. Kita berpakaian setiap hari. Saya ingin berpenampilan sekaligus berbuat baik. Dan, hal itu, bagi saya, adalah kemewahan,” tuturnya.
Ketika isu tentang lingkungan kian mengemuka di seluruh dunia beberapa tahun belakangan, industri fashion tak luput dari perhatian. Proses produksinya menggunakan bahan-bahan kimia yang mencemari tanah dan air. Sejumlah data mencatat, 23 persen bahan kimia yang dibuat di seluruh dunia digunakan untuk industri tekstil dan 200 ribu ton pewarna terbuang di saluran air setiap tahunnya.
Pijakbumi memegang prinsip etis dan ramah lingkungan. Prinsip etis diwujudkan dalam memperlakukan perajin dengan cara yang baik dan pemberian ongkos produksi yang layak. Sementara itu, prinsip ramah lingkungan dijalankan dengan pemilihan material dan penggunaan lem yang bertanggung jawab.
Material sebagai kunci
Pijakbumi memilih material dengan riset yang cukup. Material-material ini digunakan untuk memproduksi sekitar 20 desain alas kaki keluaran Pijakbumi.
Kulit samak nabati (vegetable tanned leather) diproses dengan bahan tanin dari tumbuh-tumbuhan oleh perajin lokal. Sebagian besar kulit saat ini disamak dengan kromium, sehingga mencemari lingkungan. “Kulit yang disamak dengan kromium tidak bisa didaur ulang karena beracun. Juga tidak bisa dicacah dan dijadikan pupuk. Sementara itu, kita lihat di perajin-perajin sepatu seperti di Garut, sampah kulitnya menumpuk,” kata Sandy.
Beberapa alas kaki produksi Pijakbumi menggunakan serat kenaf sebagai material utamanya. Sandy bercerita dengan membandingkan serat kenaf dan kapas. Tanaman kapas tumbuh di daerah kering, tetapi agar kapasnya bagus tanaman ini membutuhkan air yang sangat banyak. Konsumsi air yang banyak ini terkadang membuat lingkungan sekitar perkebunan kapas tidak berkelanjutan. Sementara itu, kenaf tumbuh di daerah yang juga kering, tetapi kebutuhan airnya hanya satu perempat yang diperlukan pohon kapas.
Serat kenaf diaplikasikan pada sepatu seri Atlas dan Gaia. Pada 2017, alas kaki Seri Atlas bersama Gene Sneakers yang berbahan kulit samak nabati dan prototipe sepatu dari anyaman bambu dari Pijakbumi menjadi finalis Good Design Indonesia (GDI). Ini menjadi sebuah bentuk pengakuan akan desain yang baik dan proses produksi yang bertanggung jawab.
Selain itu, Pijakbumi menggunakan kanvas organik. “Bahan kanvas ini memang dari kapas, tetapi kami berupaya memastikan bahan yang kami gunakan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Kapas organik ini ditanam tanpa pestisida dan ketat dalam pengontrolan air, termasuk memastikan ketersediaan stok air di lingkungan sekitar,” ujar Sandy
Gaya desain alas kaki dari Pijakbumi terinspirasi pada desain-desain Jepang yang minimalis, estetis, sekaligus fungsional. Dalam hal penjualan, tantangan Pijakbumi memang pada edukasi konsumen. Diakui Sandy, belum banyak konsumen yang sadar atau awas soal isu lingkungan sehingga orang berfokus hanya pada harga dan desain.
Meski begitu, lewat informasi-informasi yang disampaikan Pijakbumi lewat kanal-kanal promosinya, misalnya Instagram, kita berharap kian banyak konsumen yang sadar, produk ini lebih dari sekadar menarik dari sisi desain, tetapi juga berkontribusi positif untuk bumi. [NOV]