Lahir dalam keadaan polos dan belum mengenal sekat-sekat perbedaan, dunia anak penuh kegembiraan dan pertemanan tulus. Melalui keluarga, anak mulai mengenal nilai-nilai hidup.
Menurut Sinta Mira MPsi, psikolog dari Vida Rumah Konsultasi & Layanan Psikologi, nilai hidup (value) yang perlu diperkenalkan adalah value yang akan membantu anak dalam menjalani kehidupannya kelak. “Anak perlu memiliki rasa percaya diri yang dibarengi kerendahan hati sehingga tak hanya menjadi pribadi yang bisa berkompetisi, tetapi juga terbuka terhadap keterbatasan diri. Anak juga perlu memiliki sikap asertif sehingga bisa menyampaikan keinginan dan memperjuangkan haknya secara baik, dengan tetap bersikap empati pada orang lain,” tutur Sinta antusias.
Hindari stereotip
Sayangnya, seiring perjalanan waktu, anak dapat terpengaruh hal-hal negatif dari lingkungan terdekatnya, bahkan orangtua, misalnya seperti pemberian stereotip, atau berprasangka subyektif terhadap orang lain. Untuk itu, orangtua harus memiliki pandangan terbuka dan mendukung anak untuk berteman dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan teman.
Buah hati Anda perlu belajar menghargai kelebihan dan kekurangan temannya. Pada dasarnya, kemampuan anak untuk berteman dan bersosialisasi adalah suatu tahap perkembangan yang wajar dilewati setiap anak. Pada usia 3–5 tahun anak biasanya mulai berinteraksi dengan teman-teman di sekolah atau sekitar rumah dengan bentuk interaksi utamanya adalah dengan bermain (play).
Pada tahap ini, tutur Sinta, orangtua memang sebaiknya memberi dukungan positif pada aktivitas bermain bersama tersebut. “Karena dengan bermain atau berinteraksi dengan teman, buah hati Anda belajar mengembangkan kemampuan sosialisasi yang akan menjadi bekal baginya hingga kemudian hari. Anak yang sudah terbiasa berteman dan memiliki kemampuan sosialisasi yang baik sejak masa ini akan mengembangkan kemampuan sosial yang baik hingga masa remaja dan dewasanya,” paparnya.
Hal konkret
Usia 3–5 tahun adalah waktu terbaik mengajak anak belajar berteman. Pada rentang usia inilah biasanya anak sudah mengembangkan pemahaman lebih utuh mengenai dirinya dan orang lain, sehingga mulai ada keinginan berteman dan bermain bersama.
Orangtua dapat mengajak anak untuk berteman bisa dimulai dari lingkungan terdekat, misalnya tetangga ataupun teman sekolah. Ajak anak untuk belajar mengenali temannya. Mulai dengan mengenal dan mengingat nama temannya, menyapa temannya saat bertemu, dan aktivitas bermain bersama temannya.
Mengajarkan anak tentang bagaimana memahami perbedaan bisa dimulai sejak usia dini. Namun, caranya harus disesuaikan juga dengan tahap perkembangan anak.
Yang harus diingat, anak belum bisa memahami konsep yang sifatnya abstrak. Mengajarkan tentang keberagaman juga harus melalui cara-cara konkret. Anak bisa belajar bahwa manusia beragam dan berbeda melalui banyak cara. Bisa melalui buku, film, atau melalui pengamatan di lingkungan.
Bahkan, hal konkret bisa didapat dari perilaku orangtua dan guru. Keduanya dapat mencontohkan dengan memberikan komentar positif pada perbedaan-perbedaan individual yang dilihat sehari-hari.
Sinta menegaskan, ”Karena saat orangtua mulai memberikan komentar yang negatif pada perbedaan-perbedaan yang ada, anak malah akan mulai membentuk konsep stereotip sendiri. Contoh lainnya berasal dari hidup keseharian. Misalnya, mengajak anak memberikan ucapan pada tetangga yang merayakan hari raya atau memberi bantuan pada orang lain tanpa membeda-bedakan.”
Dalam mendidik dan mengajarkan mengenai nilai-nilai, Sinta berpendapat bahwa bersikap konsisten adalah kunci utama. Orangtua tetap perlu memberikan contoh konsisten berupa sikap yang positif dan toleran terhadap perbedaan yang ada. Kelak, buah hati Anda akan akan menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap toleransi yang baik terhadap berbagai perbedaan yang ada di masyarakat. [AJG]
Foto Shutterstock.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 29 Mei 2017