“Kuambil buluh sebatang, kupotong sama panjang. Kuraut dan kutimbang dengan benang, kujadikan layang-layang…,” Leni Tampubolon bersenandung, sementara kedua anaknya, Kevin (11) dan Ralph (8), menempelkan rangka layang-layang pada kertas roti. Mereka sedang memanfaatkan waktu libur sekolah dengan piknik di Museum Layang-Layang di Jakarta, Selasa (12/7).

“Kevin dan Ralph sudah tidak kenal lagu itu, ya,” gumam Leni. Lagu “Layang-layang” gubahan Madong Lubis itu memang tidak terdengar akrab di telinga anak-anak zaman sekarang. Bahkan, hanya segelintir anak yang masih punya “kemewahan” bermain di tanah lapang untuk menerbangkan layang-layangnya. Siang itu, Kevin dan Ralph mendapatkan kesempatan untuk membuat layang-layang pertama mereka dan berkenalan dengan banyak sekali kreasi layang-layang.

musem-layang-02

Erik Tamba, suami Leni, mengenang, ketika masih kanak-kanak, ia suka sekali membuat dan bermain layang-layang. Diterbangkannya layang-layang buatannya dari lahan-lahan kosong yang masih luas di kampungnya, di sebelah tenggara Medan. Ia menyayangkan makin menyusutnya ruang-ruang terbuka untuk tempat bermain anak-anak di perkotaan. Mengunjungi Museum Layang-layang, bagi Leni dan Erik, bisa menjadi sarana hiburan sekaligus edukatif untuk kedua anak mereka.

Museum Layang-layang yang berada di bilangan Lebak Bulus itu memang menawarkan kesejukan tersendiri. Begitu memasuki gerbangnya, kita sudah disambut dengan instalasi layang-layang warna-warni yang menggantung cantik di antara rimbunnya pepohonan. Sejumlah bangunan dengan langgam Jawa dimanfaatkan untuk memamerkan koleksi layang-layang, ruang audivisual, kantor museum, dan ruang workshop.

Museum Layang-layang menjadi etalase untuk layang-layang yang indah, unik, bersejarah, atau punya nilai kedaerahan yang khas. Museum ini juga menyajikan ragam aktivitas menarik untuk orang dewasa maupun anak-anak. Di museum ini, kita bisa menonton video tentang layang-layang, membuat dan mewarnai layang-layang, membuat keramik, belajar membatik, atau melukis kipas dan payung.

Kekayaan koleksi

Museum Layang-layang bermula dari rasa cinta penggagasnya, Endang Ernawati, terhadap layang-layang. Pada 1970-an, ia membeli layang-layang dari Amerika Serikat. Liukan indah layang-layang ketika mengangkasa membuat Endang jatuh hati. Mulai saat itulah ia mengoleksinya.

Pada 1988, Endang mendirikan Merindo Kites & Gallery. Tujuannya, membentuk wadah untuk para pelayang yang sering mengadakan festival layang-layang, baik di tingkat nasional maupun internasional. Selanjutnya, pada 21 Maret 2003 Museum Layang-layang Indonesia yang juga diprakarsai Endah diresmikan. Saat ini, museum tersebut memiliki ratusan koleksi layang-layang, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

musem-layang-06

“Di sini ada layang-layang aduan, tradisional, kreasi, dan layang-layang olahraga,” ujar Asep Wirawan (49), pemandu Museum Layang-layang sekaligus seniman layang-layang. Ia menemani pengunjung berkeliling sambil menuturkan cerita menarik tentang masing-masing layang-layang.

Bersiaplah untuk terpesona akan keindahan desain atau takjub akan kerumitan dan ukuran layang-layang. Di dalam ruang pamer, kita akan bertemu dengan naga, capung, laba-laba, atau ikan raksasa. Museum Layang-layang bahkan memiliki koleksi superbesar seperti Megaray yang berukuran 9 meter x 26 meter.

Layang-layang yang berasal dari berbagai penjuru Indonesia menampilkan ciri kedaerahannya. Ada layang-layang peupeutengan dari Jawa Barat yang biasanya didesain dengan mengambil tokoh kuno atau legenda seperti Cepot atau Dawala, layang-layang daplangan tanggalan dari Cilacap yang rangkanya terbuat dari kayu pohon waru, layang-layang dandang laki dan dandang bini dari Kalimantan, serta masih banyak lagi.

“Layang-layang dandang laki dan dandang bini biasanya diterbangkan bersamaan sebagai wujud syukur atas keberhasilan panen. Yang unik, di bawah Dandang Laki dipasang juga dengung, bilah bambu dengan lubang membujur di tengahnya,” cerita Asep. Ketika terbang dengan embusan angin kencang, bunyi merdu dari bambu itu bisa terdengar sampai radius satu kilometer.

musem-layang-05

Kuatnya tradisi layang-layang mengakar di Nusantara juga dapat dilihat dari koleksi layang-layang primitif yang ada di museum ini. Layang-layang dimainkan di masa silam ini biasanya berbahan utama daun kering atau pelepah pisang. Sebutlah layang-layang kaghati dari Muna, Sulawesi Tenggara, yang dibuat dari daun ubi gading; goang dari Sumbawa yang layarnya memakai pelepah pisang dan benangnya dari serat nanas; atau layang-layang daun lontar dari Bali.

Sejumlah layang-layang dari mancanegara membuat koleksi museum ini makin kaya. Asep menunjukkan salah satu layang-layang yang paling unik di dalam etalase kaca. “Ini koleksi paling kecil yang dimiliki museum ini. Layang-layang dari Tiongkok, lebarnya hanya kira-kira 2 sentimeter. Layang-layang ini bisa diterbangkan juga meskipun tidak tinggi,” jelasnya.

Tidak hanya dari bahan dan desainnya, di museum ini kita juga bisa menggali keunikan layang-layang karena fungsinya. Di Lampung, layang-layang dikaitkan dengan joran untuk membantu memancing ikan. Sementara itu, di Kalimantan layang-layang dijadikan alat menjerat kelelawar. Bagian tertentu benang layang-layang dipasangi kail yang akan membuat kelelawar tersangkut ketika terbang.

Museum Layang-layang menunjukkan, layang-layang lebih dari sekadar permainan. Ia bernilai karena sisi fungsional, sejarah, estetika, bahkan kearifan lokalnya. Di tempat ini, layang-layang terus dilestarikan agar tak lekang zaman dan kelak akan terus terbang. [FELLYCIA NOVKA KUARANITA]

noted: Agar Layang-layang Terus Terbang