Selain pendaki, warga di sekitar Slamet juga tidak boleh memakai mata air sembarangan dan menebang pohon. Warga lereng Slamet percaya, gunung ini ditunggu oleh tujuh penjaga yang tak kasat mata. Mbah Renti, Mbah Atas Angin, Mbah Tapak Angin, Mbah Semput, Mbah Brantayuda, Mbah Sapujagat, dan Mbah Raga, merekalah para penunggu itu.
Namun, secara nalar, semua pantangan dan mitos itu sebenarnya menjadi rambu-rambu bagi siapa pun untuk tidak merusak lingkungan. Setiap orang wajib bersahabat dengan alam. Mata air dan dedaunan adalah simbol kehidupan yang menyediakan makanan bagi semua makhluk hidup. Memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, bahkan menjadi rakus atau merusaknya, tak ubahnya kejahatan pada kehidupan.
Gunung Slamet yang menjulang setinggi 3.428 meter di atas permukaan laut merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Pulau Jawa, setelah Gunung Semeru di Jawa Timur. Letak gunung ini berada di perbatasan Kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Tegal, dan Pemalang, Provinsi Jawa Tengah.
Di lereng gunung yang masih aktif ini terdapat sebuah kawasan wisata terkenal, yaitu Baturraden atau Batur Raden. Menurut sejumlah sumber, Gunung Slamet mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Dalam buku Three Old Sundanese Poems, terbitan KITLV Leiden 2006, J Noorduyn menyebutkan, nama “Slamet” melekat setelah masuknya ajaran Islam ke Tanah Jawa. Sehingga nama itu tergolong baru. Noorduyn merujuk naskah kuno Sunda Bujangga Manik yang menyebutkan nama lama dari gunung ini adalah Gunung Agung.
Untuk menggapai puncaknya, para pendaki biasanya menempuh jalur pendakian dari Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga. Rute lain, yakni melalui Dukuh Liwung yang dari pos satu sampai pos lima atau puncak, membutuhkan waktu sekitar delapan jam. Mata air terdapat di pos 2 dan 3.
Bisa pula menempuh rute obyek wisata air panas Guci. Namun, rute ini amat terjal. Meski demikian, rute ini menawarkan pemandangan istimewa dibanding rute lainnya. Pemandangan alam di rute Guci masih alami dan liar.
Saat mendekati puncak, pendaki akan disuguhi medan khas gunung berapi yakni hamparan pasir, kerikil, dan bebatuan, serta tanpa vegetasi. Keadaan ini mewajibkan setiap pendaki untuk ekstra waspada karena rawan longsoran batu dan jalur yang licin.
Gunung Slamet merupakan gunung stratovulcano yang terbentuk akibat kegiatan tektonik lempeng Indoaustralia dan Eurasia. Tumbukan kedua lempeng tersebut menyebabkan magma yang terbentuk bersifat intermediet (andesitik) yang mengandung silika 52-63 persen.
Untuk melakukan pendakian ke puncak Slamet diperlukan peralatan yang lengkap sebab rutenya tergolong ekstrem. Fakta menarik lainnya adalah sejak 1772 hingga 2009, Gunung Slamet telah meletus sebanyak 43 kali.
Nanti bila pandemi telah teratasi, kita bisa merencanakan kembali untuk mendaki Gunung Slamet. Tetap terapkan protokol kesehatan dan jangan sekali-kali merusak lingkungan. [*]