Seperti kota besar dunia lainnya, derap aktivitas di Jakarta tak pernah berhenti. Dinamika hidup di Ibu Kota lantas menyisakan banyak cerita, termasuk ketika rasa rindu untuk menikmati sejumlah kuliner legendaris di kota ini. Untuk mengobati kerinduan itu, setiap wilayah Jakarta memiliki tempat-tempat makan khas dan lawas. Nah, salah satunya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

Letaknya yang strategis di tengah kota, membuat Cikini selalu ramai, bahkan sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Meski tidak seramai sekarang, disarikan dari situs web Jakarta Kita, Cikini memang telah dirancang pemerintah Belanda sebagai area komersial dan publik yang menyediakan fasilitas umum untuk perumahan elite warga Eropa dan pribumi kelas menengah atas.

Arsitek asal Belanda saat itu, PAJ Mooijen, ditugaskan menata kawasan pemukiman elit di Menteng, termasuk merancang kawasan Cikini sebagai area penyokongnya. Cikini tempo dulu tak ubahnya seperti kondisi sekarang. Cikini terus tumbuh, sebagai area publik, mulai dari tempat makan, sekolah, pertokoan, pasar, kantor pos, hingga rumah sakit.

Bicara tentang kuliner legendaris Jakarta, Cikini adalah tempat tepat. Hingga saat ini, masih ada, tempat makan yang masih bertahan sejak pertama kali buka pada tahun ‘40-an.

Nah, jika kebetulan Anda hanya memiliki waktu 4 jam untuk bertualang rasa di sini, tim Kompas Klasika ingin mengajak Anda berkeliling menemukan beberapa spot makan unik dan lezat.

1. Soto Betawi H Ma’ruf

Perhentian pertama tim Kompas Klasika adalah rumah makan Soto Betawi H Ma’ruf yang terletak di dalam Kompleks Taman Ismail Marzuki. Inilah salah satu pionir penjaja soto betawi di Jakarta.
Tepatnya pada 1940, Haji Ma’ruf bin Said merintis usahanya. Dengan kegigihannya, seiring waktu soto betawi racikannya semakin tenar dan dicari banyak orang. Kini, usaha kuliner keluarga telah dipegang oleh generasi ketiga.

Cita rasanya tetap khas, sehingga tidak mengherankan pengunjungnya dari berbagai usia, termasuk kalangan lansia. Asril (78), contohnya. Dijumpai sesudah menyantap makan siangnya, Asril menuturkan jika dia selalu menyempatkan makan di Soto Betawi H Ma’ruf jika sedang lewat daerah Cikini.

“Sejak masih lajang, saya suka makan di sini. Rasanya dari dulu sampai sekarang tidak berubah, gurihnya pas di lidah saya. Selain sering datang sendiri, saya juga sering ajak teman-teman untuk ke sini. Mereka rata-rata suka dengan semua menu yang ada,” ucapnya.

Yang menjadi ciri khas Soto Betawi H Ma’ruf adalah soto daging yang dihidangkan dalam semangkuk kuah santan yang gurih. Isinya potongan daging sapi yang cukup banyak dan empuk, ditambah taburan emping yang renyah.

Menu favorit lainnya adalah soto betawi campur, soto bening daging, dan soto bening campur. Jika sedang ingin menjajal menu selain soto betawi, rumah makan ini menyediakan menu laksa betawi, ayam goreng, sate sapi, sate kambing, dan sate ayam. Menu makanan dimulai dari harga Rp 20 ribu. Tertarik? Rumah makan ini buka dari pukul 09.30 sampai 20.00.

2. Roti Tan Ek Tjoan

Setelah kenyang bersantap siang dengan soto betawi, Kompas Klasika berniat untuk menyusuri Jalan Cikini Raya menuju es krim legendaris di kawasan itu, Es Krim Tjanang. Namun, belum lama berjalan, kami menemukan pedagang gerobak keliling Roti Tan Ek Tjoan.

Inilah salah satu merek roti tempo dulu yang masih bertahan di Jakarta. Berpuluh-puluh tahun toko rotinya pernah berlokasi di Jalan Cikini Raya. Sayangnya, beberapa tahun silam, toko roti itu tutup dan berpindah tempat di Ciputat, Tangerang Selatan.

Namun, kabar gembiranya, selain tersedia pada toko di Ciputat, roti Tan Ek Tjoan masih dijajakan oleh pedagang roti gerobak yang tersebar di banyak wilayah Jakarta. Salah satu penjualnya bernama Syamun.

Syamun bercerita telah menjajakan roti Tan Ek Tjoan sejak muda. Sekarang, walau tempat tinggalnya di Bogor, Syamun masih menempati mes agen roti tersebut yang berlokasi di Kwitang. Sementara itu, area jualannya masih berkisar di kawasan Cikini atau memilih mangkal di depan kompleks Taman Ismail Marzuki.

Roti Tan Ek Tjoan dikenal dengan tekstur yang padat, tetapi lembut ketika digigit. Roti khasnya adalah roti gambang, moka, dan kacang. Selain itu, ada banyak rasa lainnya yang tak kalah favorit, seperti nanas, susu, cokelat, pisang cokelat, dan pisang keju. Semuanya dibanderol seharga Rp 7 ribu, kecuali roti daging (Rp 10 ribu).

3. Es Krim Tjanang

Setelah membeli beberapa roti Tan Ek Tjoan sebagai buah tangan, saatnya kembali kepada tujuan semula, yaitu menikmati Es Krim Tjanang. Ya, es krim usaha rumahan ini sudah ada sejak 1951. Dulunya es krim ini bernama Tjan Njan, dan berada di sisi kanan Jalan Cikini Raya.

Ternyata, baru setahun terakhir, es krim ini berpindah ke sisi kiri jalan, tepatnya di dalam lobi Hotel Cikini. Namun, sudah tidak tersisa tempat bernuansa lawas untuk menikmati es krim ini. Sebab, es legendaris ini hanya ditempatkan dalam lemari pendingin di sudut kanan meja resepsionis lobi Hotel Cikini. Hotel ini sendiri merupakan usaha keluarga pemilik Es Krim Tjanang.

Es krim ini tersedia dalam tiga varian, yaitu cup kecil (Rp 15 ribu); 0,6 liter (Rp 65 ribu), dan 1 liter (Rp 80 ribu). Untuk rasa, Es Krim Tjanang cukup beragam. Ada rasa cokelat, kombinasi, malaga, kopyor, nougat, tape ketan, kacang hijau, durian, moka, stroberi, avokad, dan vanila.

Teksturnya yang padat dan rasa manis yang pas, masih menjadi ciri khasnya. Apalagi es krim tempo dulu ini memakai bahan natural dan tanpa bahan pengawet. Cocok untuk “menyegarkan” diri dari teriknya matahari.

4. Gado-Gado Bonbin

Setelah disegarkan Es Krim Tjanang, perjalanan Kompas Klasika berlanjut menuju sebuah rumah makan jadul di Jalan Cikini IV Nomor 5, yaitu Gado-Gado Bon Bin yang telah berdiri sejak 1960. Dalam tempat sederhana dan berpendingin udara, kami mencicipi gado-gado legendaris itu dilengkapi lontong dan selembar kerupuk udang, dan taburan emping. Harga 1 porsinya Rp 35 ribu.

Untuk penggemar kuliner, gado-gado Bon Bin bisa menjadi salah satu opsi menarik. Menu sayur yang sehat ini disiram kuah kacang tanah yang gurih dan menggugah selera. Selain lezat dipadukan dengan sayuran dan lontong, kuah kacangnya terasa segar dengan paduan sedikit rasa manis dan asam karena ada cuka di dalamnya.

Menurut pemilik Gado-Gado Bon Bin, Oma Lanny, demikian ia biasa disapa, ciri khas kuah kacang yang kental dari gado-gadonya karena kacang tanah disangrai terlebih dulu. Barulah setelah itu, kulitnya dikupas.

“Sebagai teman makan gado-gado lontong, biasanya pengunjung di sini memesan es shanghai buat segar-segar. Kami juga punya es kopyor yang menjadi favorit,”
ujar Lanny.

Setelah puas bersantap gado-gado ditemani es shanghai, kami beranjak ke destinasi terakhir yaitu Gudeg Bu Harjo, yang berlokasi di Pasar Cikini.

5. Gudeg Bu Harjo

Bagi pelanggan setianya, Gudeg Bu Harjo memiliki cita rasa yang terjaga sejak awal berdiri di tahun 1960 hingga sekarang. Menempati kios mungil di lantai basement Pasar Cikini, gudeg ini telah dikelola secara turun-temurun, hingga sekarang dijalankan oleh sang cucu.

Makanan khas Yogyakarta ini pun ditawarkan dalam paket nasi dan lauk, seperti nasi gudeg dan krecek, nasi gudeg dan telur, nasi gudeg dengan telur dan baceman, dan nasi gudeg ayam suwir negeri atau kampung. Harga menu makanan dimulai dari Rp 15 ribu hingga Rp 40 ribu.

Foto-foto: Iklan Kompas/E. Siagian.

Yang menjadi kekhasannya sampai sekarang adalah siraman areh berwarna cokelat, yang merupakan santan kental yang dimasak hingga bergumpal. Hasilnya, membuat rasa gudeg menjadi gurih dan manis. Suwiran ayam kampungnya pun bertekstur empuk, sehingga menambah kenikmatan saat menyantapnya.

Selama empat jam bertualang rasa di kawasan Cikini, meninggalkan rasa puas dan nikmat. Rasa tempo dulu yang tak lekang dilumat zaman. [AJG]

Artikel ini terbit di Harian kompas edisi 12 Oktober 2018.