Banyak daerah di Sumatera Utara yang kian tersohor karena dilatarbelakangi keindahan alam maupun atraksi budaya lainnya. Dari sederet tempat yang memikat, berikut tiga di antaranya yang memiliki keunikan yang patut dijadikan tujuan wisata.
Nias
Nias, pulau di pantai barat Sumatera, merupakan salah satu obyek wisata luar biasa yang dimiliki Sumatera Utara. Daerah ini menyimpan potensi alam dan budaya yang sangat unik. Tari perang dan lompat batu (hombo batu) merupakan tradisi yang paling terkenal.
Di pulau ini terdapat Desa Bawomataluo yang terletak di puncak bukit sekitar 1.313 kaki dari permukaan laut. Di tengah desa dapat dilihat sebuah rumah tradisional yang besar. Dari puncak bukit, kita dapat melihat pemandangan alam yang begitu memesona.
Pulau-pulau Batu dengan luas 123 hektare terdiri atas101 pulau merupakan tempat wisata yang tak kalah menarik. Tempat ini dapat dicapai dengan perahu sekitar 4,5 jam dari Teluk Dalam. Berenang, menyelam, dan snorkeling adalah sejumlah kegiatan yang biasa dilakukan oleh para wisatawan.
Desa Tundrombaho, Kecamatan Lolomatua merupakan salah satu desa tradisional yang banyak menyimpan peninggalan megalitikum seperti osa-osa, menhir, area megalitikum, dan meja batu. Bangunan-bangunan rumah sudah tidak tampak di sini. Situs ini berada di sebuah bukit yang berpuncak datar, sama seperti kompleks permukiman tradisional lainnya.
Serdang Bedagai
Hanya berjarak sekitar 45 kilometer dari Kota Medan, kita dapat melihat pantai berpasir putih menghadap ke Selat Malaka, Pantai Cermin. Pantai ini merupakan tempat rekreasi lokal yang terkenal, yang pengunjung dapat menikmati sejumlah kegiatan seperti memancing, berenang, hingga menyantap hidangan laut.
Serdang Bedagai (Sergai) juga memiliki wisata budaya. Di sebelah kiri jalan lintasan menuju Parapat dapat dijumpai situs Kota Galuh yang tersisih berupa Masjid Raya Kota Galuh. Sultan Kota Galuh sangat peduli terhadap pertumbuhan ekonomi rakyatnya. Oleh karena itu, didatangkan guru-turu terampil dari negeri Malaya (Malaysia) untuk mengajari warganya mengembangkan pengolahan komoditas daerah menjadi berbagai macam bentuk penganan.
Budaya Melayu Serdang tumbuh kental sehingga hampir setiap etnis yang melakoni adat akan merujuk kepada pemakaian Balai (untuk upacara tertentu) dan Tepak Sirih sebagai penyambutan tamu yang disajikan bersamaan dengan Tari Persembahan dan Pencak Silat.
Binjai
Dahulu, Binjai merupakan kotapraja (gemeente) yang dikelola langsung oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial mengangkat seorang wali kota (burgermeester) untuk jangka waktu tertentu, sebagai pelaksana pemerintahan. Pemerintah kolonial juga menetapkan dewan kota (stadgemeente) sebagai badan legislatif yang menjadi representasi warga kota.
Secara morfologi, kota ini berkembang jauh lebih pesat dibanding Tanjung Pura yang menjadi ibu kota Kerajaan Langkat. Secara sosiologi, Kota Binjai berkembang sebagai daerah kosmopolitan dengan keberagaman masyarakat menjadi corak utamanya, meski secara historis Binjai termasuk dalam kategori kota kolonial.
Sementara itu, Kota Tanjung Pura, bandar yang dilalui Sungai Batang Serangan, terletak sekitar 35 kilometer sebelah utara Kota Binjai tetap mempertahankan ciri-cirinya sebagai ibu kota kerajaan, meskipun sentuhan kolonial turut memengaruhi perkembangan kota ini. Tanjung Pura cenderung bersifat monolitik, yang kebudayaan Melayu menjadi corak utamanya.
Selain peninggalan kolonial, obyek wisata lainnya adalah Mesjid Raya Kota Binjai yang relatif lebih sederhana dibanding corak Masjid Raya Al-Mashun Medan maupun Masjid Azizi Tanjung Pura. [*/BYU]
Foto dokumen Shutterstock.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 24 Januari 2014