Pada hari keempat perjalanan mengelilingi surga wisata di Bumi Pasundan, Kamis (7/12/2017), Tim Kompas Eksplor meluncur menuju Sawarna. Siang itu, perjalanan ini memakan waktu sekitar lima jam dari destinasi sebelumnya di Ujung Genteng.

Sekitar pukul 3 sore, sampailah kami di penginapan. Meski hanya memiliki waktu satu hari di Sawarna, kami berencana untuk melakukan beach hopping (menikmati suasana beragam pantai) ke tiga tempat yang memsona di sana, yaitu Pantai Tanjung Layar, Pantai Legon Pari, dan Pantai Pulo Manuk.

Pantai Tanjung Layar

pantai di sawarna

Pantai ini menjadi tempat yang pas untuk menikmati sunset. Untuk mencapai Tanjung Layar, butuh waktu sekitar 20 menit dari penginapan kami di Jalan Raya Sawarna. Mobil kami tak bisa langsung mencapai pantai sebab Tanjung Layar hanya bisa diakses dengan berjalan kaki atau kendaraan roda dua.

Tiket masuk resmi per orang ke Pantai Tanjung Layar adalah Rp 5 ribu. Sementara itu, retribusi parkir kendaraan roda empat di sebuah tanah lapang di sana dikenai Rp 15 ribu.

“Jika wisatawan mau berkendara motor, Pantai Tanjung Layar bisa dicapai dalam waktu 5–10 menit saja. Pilihannya, Anda bisa memakai ojek atau menyewa sepeda motor. Di sini, kami menyediakan sepeda motor matik agar mudah digunakan para turis berjam-jam, dengan biaya sewa Rp 50 ribu,” ucap Bang Ahan, penjaga tiket Pantai Tanjung Layar.

“Biasanya, pantai ini ramai menjelang sunset karena pemandangannya sangat magis. Selain bersantai di tepi pantai, banyak orang tidak mau melewatkan kesempatan berfoto di depan batu karang raksasa itu,” imbuhnya.

Menuju pantai, kami harus melewati perkampungan nelayan terlebih dulu. Barulah setibanya di pantai, langit senja yang cantik dan dua batu karang raksasa seolah menyambut kedatangan kami. Suasananya amat tenang, karena saat itu pantai ini cukup sepi pengunjung.

Dua batu karang raksasa yang menyerupai layar kapal yang terkembang itu, memang menguarkan atmosfer magis. Keduanya seolah menjadi bingkai langit senja yang jingga kemerahan.  Menariknya, di timur pantai, terdapat gugusan karang yang seolah membentuk jejak kaki raksasa. Warga setempat menamakan gugusan karang itu sebagai jejak kaki Kabayan.

Pantai Legon Pari

Di penginapan, kami memutuskan menyewa 4 ojek seharga Rp 100 ribu per sepeda motor. Biaya itu mencakup jasa pemandu dan transportasi pergi-pulang dari penginapan menuju dua spot ke Pantai Legon Pari, yaitu Karang Beureum dan Karang Taraje.

Tepat pukul 5 pagi, kami berangkat. Menurut penjaga hotel dan beberapa warga lokal, menikmati suasana Pantai Legon Pari memang klop dilakukan pagi hari, atau menjelang sunrise.

Menurut Kang Wawan, pemandu wisata kami, langit di Legon Pari sangat cantik tanpa kabut dan awan menjelang pagi. “Bahkan, banyak wisatawan yang sudah jalan menuju Legon Pari sejak jam 3 pagi, untuk menyaksikan bintang dan sunrise. Biasanya, saya sarankan waktu paling ideal menikmati sunrise di sini adalah Agustus hingga Desember. Pada periode tersebut, biasanya belum hujan, tidak ada kabut.”

Pantai Legon Pari juga tidak dapat diakses dengan kendaraan roda empat. Aksesnya cenderung lebih sulit karena kontur jalan naik turun dan terjal. Bahkan, harus melewati jembatan kayu berukuran kecil.

Setelah melewati jembatan kayu, terdapat pos tiket masuk. Setiap orang dikenakan retribusi Rp 5 ribu. Sesudah itu, pengunjung akan melewati kebun kelapa dengan jalan berliku dan terjal. Sekitar 20 menit kemudian, kami tiba di spot pertama Pantai Legon Pari, yaitu Karang Beureum.

jembatan melewati kebun kelapa

Menurut warga setempat, Karang Beureum merupakan tempat ideal untuk melihat sunrise di Legon Pari. Bahkan, terdapat beberapa kursi dan meja dari batang pohon kelapa, serta saung-saung sederhana sebagai tempat duduk untuk melihat sunrise.

Hamparan pasir di pantai Karang Beureum tidak selandai Pantai Tanjung Layar, karena didominasi dengan batu karang. Sementara itu, Karang Beureum sendiri adalah hamparan karang besar yang menyerupai benteng yang berada di tepi pantai.

“Warna karangnya juga cenderung berbeda dengan karang di pantai-pantai lain. Cenderung berwarna lebih merah sehingga dijuluki Karang Beureum, artinya merah dalam bahasa Sunda,” jelas Wawan.

Setelah menanti sekitar setengah jam, kami mendapat suguhan pemandangan yang cantik dari merekahnya matahari yang sinarnya menyapu ombak di laut biru yang jernih. Tak lama kemudian, kami bergegas menuju Karang Taraje.

Dalam bahasa Sunda, Karang Taraje berarti karang yang menyerupai anak tangga. Dari Karang Beureum menuju Karang Taraje perlu waktu sekitar 15 menit. Kami perlu sedikit berjalan kaki melewati karang kecil dan hamparan batu karang. Setelah itu, dari dekat, kami bisa menyaksikan barisan karang menyerupai tembok besar dan benteng yang dinamakan Karang Taraje.

Wawan kembali bercerita, “Kira-kira hamparan batu karang berbentuk benteng ini mencapai panjang lebih dari 10 meter. Jika beruntung, kita bisa menemukan atraksi unik, yaitu ombak pecah menghantam karang dan kembali turun sehingga menyerupai air terjun mini di karang yang menyerupai jajaran benteng ini. Tak heran, jika turis mancanegara menjuluki Karang Taraje dijuluki juga ‘Little Niagara’.”

karang taraje

Di Karang Taraje, ombak cenderung bergulung lebih besar sehingga tidak disarankan untuk bermain air laut di sini. Sebelum pulang, kami menyempatkan untuk singgah di Pantai Pulo Manuk.

Pantai Pulo Manuk

Menuju Pantai Pulo Manuk termasuk mudah karena merupakan satu-satunya pantai di Sawarna yang bisa diakses dengan mobil dari jarak dekat. Waktu tempuh dari penginapan hanya berkisar 10 menit.

Tiket masuk dan retribusi parkir juga tergolong murah. Setiap orang dikenakan biaya masuk Rp 5 ribu dan parkir kendaraan roda empat Rp 4 ribu. Pantai yang teduh karena dipayungi pepohonan rindang ini dikelola Perhutani BKPH Bayah. Tak heran bila tempat ini sudah berfasilitas lebih lengkap ketimbang pantai-pantai lain di Sawarna. Kita bisa bersantai sembari minum air kelapa di tepi pantai atau memesan makanan dari warung-warung di sekitarnya.

Nama Pulo Manuk sendiri, konon, berasal dari awal terjadinya pantai ini dari sebuah batu karang yang menyerupai burung (manuk dalam bahasa Sunda). Dulu, pantai ini dikenal sebagai tempat persinggahan burung-burung dari berbagai daerah, termasuk burung dari Australia. Suasana pantai yang teduh dan asri ini melengkapi keseruan kami melakukan beach hopping di Sawarna. [AJG]

Foto-foto : Iklan Kompas/E. Siagian dan Ajeng Kristianti.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 19 Januari 2018