Kampung ini memeram kelindan sejarah akulturasi budaya antara masyarakat Tionghoa, Keraton Yogyakarta, dan warga setempat. Kawasannya mencakup Jalan Ahmad Yani, Jalan Suryatmajan, Jalan Suryotomo, dan Jalan Los Pasar Beringharjo.
Kampung Ketandan yang terletak di utara Pasar Beringharjo merupakan kawasan Pecinan yang turut berperan vital dalam perkembangan ekonomi dan budaya kota Yogya.
Kampung Ketandan telah berdiri selama lebih dari dua abad. Alkisah, nama “Ketandan” berasal dari kata “tanda” atau tondo yang merujuk sebuah jabatan terkait pajak pada masa lalu. Jabatan ini oleh Keraton Yogyakarta diberikan kepada beberapa warga Tionghoa terpilih, dan keluarga mereka kemudian menetap di kawasan ini.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, komunitas Tionghoa di berbagai kota di Indonesia diatur melalui beleid yang dikenal sebagai passentelsel (pembatasan pergerakan) dan wijkstelsel (kawasan pemukiman khusus).
Namun, berbeda dengan kota lain, komunitas Tionghoa di Yogyakarta mendapatkan izin khusus dari Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk menetap di area utara Pasar Beringharjo. Keputusan ini tidak hanya memperkuat aktivitas perdagangan di kawasan tersebut, tetapi juga menciptakan ruang interaksi budaya antara warga Tionghoa, masyarakat lokal, dan pihak keraton.

Seiring waktu, Kampung Ketandan tumbuh menjadi pusat komunitas Tionghoa di Yogyakarta. Kawasan ini dikenal dengan deretan bangunan berarsitektur khas Tionghoa, lengkap dengan ornamen seperti lampion merah, atap melengkung, dan ukiran naga.
Bagi wisatawan dari luar Yogya yang mampir ke Ketandan, mungkin akan bertanya-tanya kenapa di kampung ini banyak terdapat toko emas. Kawasan ini mulai dikenal sebagai pusat perdagangan emas sejak pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1950-an, hampir seluruh penduduk Kampung Ketandan beralih profesi menjadi pedagang emas.
Konon, toko emas pertama di Yogyakarta berdiri di kampung ini dan menjadi titik awal berkembangnya bisnis emas yang kini menjadi ciri khas Ketandan. Banyak warga lokal dan wisatawan yang datang ke sini untuk mencari perhiasan berkualitas tinggi.
Mengapa emas? Menurut Pak Edy, warga yang telah menetap di Ketandan setidaknya 30 tahun terakhir, ada dua alasan utama.

“Budaya Tionghoa memandang emas sebagai simbol kekayaan dan keberuntungan. Tapi saya pikir bukan hanya warga Tionghoa ya, hampir semua orang menganggap emas adalah eksistensi kekayaan atau kemakmuran,” kata Edy, Senin (20/1/2025).
Di samping itu, lanjut Edy, menurut orangtuanya dulu, kampung ini sangat dekat dengan Pasar Beringharjo yang menjadi pusat perdagangan utama di Yogyakarta. Banyak pedagang pasar yang misalnya punya rejeki datang ke Ketandan untuk membeli emas. “Sebaliknya, jika pedagang akan menggelar hajatan, jual emasnya ke kampung ini karena dekat saja,” imbuhnya.
Perhiasan emas di sini tidak hanya ditawarkan melalui toko. Banyak juga pedagang emas kaki lima yang memasang etalase kecil, timbangan, dan perlengkapan sederhana untuk menguji mutu emas.
“Kalau beli emas di penjual kaki lima, tawar-menawarnya bisa lebih intens, ya. Selain itu, kalau jual perhiasan yang misalnya nggak ada suratnya juga lebih mudah,” ujar Titin, warga Klaten, Jawa Tengah, yang mampir di Ketandan untuk sekadar melihat-lihat perhiasan emas.
Teras Malioboro Ketandan

Salah satu keunikan Kampung Ketandan adalah perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa. Ini terlihat dari tradisi masyarakat setempat, arsitektur bangunan, hingga kuliner. Di setiap sudut kampung, pengunjung dapat menemukan rumah-rumah bergaya Tionghoa dengan ornamen Jawa.
Setiap perayaan Tahun Baru Imlek, Kampung Ketandan menjadi pusat perayaan dengan berbagai kegiatan seperti barongsai, wayang potehi, hingga bazar makanan tradisional. Acara ini tidak hanya dirayakan oleh warga Tionghoa, tetapi juga melibatkan masyarakat umum, menciptakan suasana kebersamaan yang khas.
Transformasi kawasan Malioboro sebagai ikon wisata Yogyakarta turut membawa perubahan pada Kampung Ketandan. Salah satunya pendirian Teras Malioboro Ketandan sebagai bagian dari penataan ulang kawasan Malioboro. Dengan mengusung konsep Pecinan modern, Teras Malioboro Ketandan menjadi ruang baru untuk berinteraksi dan menikmati budaya Tionghoa.
Teras Malioboro Ketandan menyediakan berbagai fasilitas, mulai dari kios-kios yang menjual kuliner khas hingga amphitheater untuk pertunjukan seni. Pengunjung dapat menikmati suasana kampung Pecinan sambil mencicipi camilan seperti bakpia, onde-onde, dan kue keranjang.
Kini, Kampung Ketandan menjadi destinasi wisata budaya yang wajib dikunjungi saat berada di Yogyakarta. Di balik geliat perdagangan dan keramaian, kawasan ini menyimpan cerita panjang tentang bagaimana budaya Tionghoa melebur dengan budaya lokal.
Tidak hanya menjadi pusat ekonomi, Ketandan juga menjadi simbol toleransi dan harmoni antarbudaya di Yogyakarta. Setiap sudutnya mencerminkan sejarah panjang, semangat kerja keras, dan keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia.
Baca juga: 5 Cara Rayakan Tahun Baru Imlek Berkesan di Rumah