Hioswa atau yang dikenal dengan hio adalah suatu bahan atau adonan mirip tanah liat yang menebarkan aroma harum. Hio menjadi salah satu perlengkapan yang digunakan dalam peribadahan warga Tionghoa.

Bila kita mengunjungi kelenteng dan tempat ibadah pemeluk Konfusianis, Taois, dan Buddha, kabut asap yang berasal dari hio yang wangi baunya selalu menyambut kita. Atmosfer tempat tersebut biasanya terasa sakral dan mistis, sekaligus tenang dan tenteram.

Hio dibuat dari campuran serbuk kayu, lem khusus, pewarna, pewangi, dan air. Setelah komposisi ini dicampur merata, adonannya kemudian ditempel pada medium batang kayu atau dibentuk sesuai kebutuhan. Pada batang hio biasanya disemati motif naga, tetapi ada pula yang polos.

Setelah itu, hio akan dikeringkan selama 2–3 hari. Cuaca akan memengaruhi proses produksi hio. Bila cuaca cerah, perajin hio bisa menyelesaikan produksi selama dua minggu. Namun di musim hujan, produksi hio dapat mencapai satu bulan.

Hio di pasaran berasal dari produksi lokal maupun impor. Salah satu contoh pengrajin hio lokal adalah warga Desa Cengklong, Kosambi, Tangerang, Banten. Adapun yang impor biasanya datang dari Thailand dan China.

Tidak boleh ditiup

Kelenteng biasanya menyediakan rak yang berisi hio.

Puluhan batang hio biasanya ditancapkan dalam suatu bejana berwarna keemasan di muka altar para dewa. Kepulan asap hio menjadi tanda ke mana doa-doa mengalir. Bila asap hio mengepul tegak ke atas, dipercaya doa-doa segera dikirim dan diterima oleh Sang Pencipta. Namun bila asap hio menyebar atau memapar ke bawah, berarti ada kemungkinan doa tak dikabulkan.

Menyalakan hio juga ada aturannya. Saat ujung hio disulut api dan menyala, api itu tak boleh ditiup. Untuk mematikannya, cukup dengan mengibas-kibaskannya. Di kelenteng, hio biasanya dinyalakan dengan api yang berasal dari lilin minyak yang berada di altar para dewa. Setelah bersoja tiga kali, hio ditancapkan pada tempatnya.

Baca juga : 

Hio juga bisa dipakai untuk sembahyang di luar kelenteng, misalnya di samping pintu rumah bagian depan. Biasanya warga Tionghoa yang melakukan ritual ini merupakan pemeluk Konfusianis dan Taois. Ritual ini biasanya dilakukan pada pagi hari dengan maksud untuk menyembah Thian (Tuhan), sembari bersyukur dan memohon berkat bagi hari baru.

Hio juga dinyalakan untuk mendoakan arwah leluhur. Oleh karena itu, batang-batang hio selalu menancap di meja abu leluhur di rumah-rumah warga Tionghoa. Pada nisan di permakaman Tionghoa juga dibuatkan beberapa lubang kecil untuk menancapkan hio. Satu atau tiga batang hio untuk menyembah Thian, dan dua batang lagi untuk mendoakan leluhur.

Untuk keperluan sembahyang di hari-hari biasa, digunakan hio berwarna merah atau kuning. Namun, ada masanya juga hio kuning dinyalakan untuk upacara pengobatan. Sementara itu, hio berwarna hijau hanya digunakan untuk mendoakan orang meninggal sampai masa berkabung selesai.

Sekarang fungsi, bentuk, dan aroma hio telah mengalami perkembangan. Ukurannya ada yang kecil dan besar. Bentuknya ada yang batangan, panjang seperti lidi, ada pula yang kerucut. Fungsinya tak lagi sekadar untuk sarana sembahyang sebab ada yang digunakan untuk terapi aroma sehingga jenis wanginya makin beragam. Asap yang mengepul juga tak lagi membuat mata pedih.

Karena warga Tionghoa memegang teguh tradisi menghormati leluhur, hio akan selalu dibutuhkan. Dengan demikian, hio tak akan pernah hilang dan kualitasnya akan bertambah bagus. [*]