Rilis: 26 Mei 2015 (Special Screening)
Sutradara: Dodid Wijanarko
Penulis naskah: Dodid Wijanarko dan MI Rani Adityasari

Pemeran: Alfonsa Horeng, Mesty Ariotedjo
Film dokumenter yang mengisahkan empat perempuan penenun yang tergabung dalam Sanggar Lepo Lorun di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT,) yang dikelola Alfonsa Horeng. Mata penonton yang awam diwakilkan oleh Mesty Ariotedjo yang menjadi penghantar cerita. Semakin membukakan sudut pandang bahwa kain tenun sarat dengan nilai-nilai filosofis dan budaya. Dalam bahasa Indonesia, “au lorun” berarti “aku menenun”. Film ini diputar pertama kali dalam ajang Plaza Indonesia Film Festival (PIFF) yang bertemakan “Celebrating Women” pada 26 Mei 2015.

Alfonsa Horeng, Mama Gonda, Mama Elizabeth, dan ibu guru Memi adalah keeempat perempuan yang kisahnya diangkat oleh sutradara Dodid Wijanarko. Pergumulan hidup mereka yang berbeda-beda dikaitkan dengan benang merah, yakni kain tenun.

Alfonsa menjadi tokoh yang hadir pertama kali. Ia menjelaskan satu demi satu tahapan pembuatan kain tenun ikat dari bahan-bahan alami. Kerumitan proses pembuatan tergambarkan secara jelas. Ada tahap menggulung benang, membuat motif dengan ikatan, pewarnaan kain, hingga tahap penenunan. Melalui kain tenun ikat, para perempuan di daerahnya menjadi pribadi yang kuat.

“Kegiatan menenun menempa perempuan-perempuan di komunitas kami menjadi orang yang keras. Tegas. Dia harus bangun pagi, menjemur kain, dan mengkanji. Ketika malam tiba, semuanya harus dirapikan karena takut mengembun dan lembab. Keras bukan dalam artian kasar, melainkan tegas. Dalam situasi susah dan sedih, dia harus kuat. Inilah perempuan-perempuan penenun,” ujar Alfonsa usai pemutaran Au Lorun di Jakarta (26/5).

Tak sekadar kain dan komoditas. Kain merupakan warisan budaya. Motif begitu sarat dengan nilai-nilai filosofis. Ada makna yang begitu berharga. Tenunan juga berfungsi sebagai persembahan dari perempuan untuk pihak laki-laki dalam sebuah pernikahan. Ada nilai sakral karena turut dipersembahkan kepada leluhur. Bahkan, seorang perempuan bisa dikatakan dewasa ketika sudah bisa menenun. Setelah itu, ia bisa menikah. Kain menjadi nobel bagi dirinya. Pesan-pesan inilah yang disampaikan dalam film melalui kisah keempat tokoh.

Merespons tantangan

Mempertahankan mood penonton selama 1,5 jam untuk sebuah film dokumenter bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, sang sutradara merespons tantangan ini dengan beberapa upaya. Pengambilan gambar dilakukan secara dinamis sehingga tidak terlihat monoton. Terlebih lagi, banyak dialog panjang yang memaparkan penjelasan.

Kehadiran Mesty Ariotedjo sebagai wakil dari penonton awam pun turut andil untuk mengurangi kebosanan. Layaknya jurnalis, ia melemparkan sejumlah pertanyaan untuk menggali informasi tentang tradisi tenun. Kehadirannya membuat penonton dapat melihat reaksi-reaksi spontan para tokoh di dalam layar yang mengundang senyum hingga tawa. Misalnya, saat Mesty belajar menenun dan tampak kewalahan mengikuti arahan mama-mama penenun.

Au Lorun mampu mentransfer pesan begitu istimewanya kain tenun. Warisan budaya bangsa yang nilai esensinya tidak boleh dilupakan begitu saja. Namun di balik itu semua, film menyimpan nilai refleksi lain kepada penonton.

Mesty yang merepresentasikan kaum urban dengan profesi dokter juga melakukan kegiatan sosial saat berbaur dengan masyarakat setempat. Ia memeriksa kesehatan dengan peralatan sederhana yang dibawa. Ini menjadi pengingat adanya sikap berbagi. Ketika berkunjung ke suatu daerah, seseorang tak sekadar menjadi turis dan “penonton”, tetapi juga melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi warga lokal. Sebagian orang mengenalnya dalam bentuk istilah voluntourism. [GPW]

noted: au lorun

foto: kompas.com